REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mega Saputra *)
Gelombang perubahan telah membawa peradaban menjadi maha kompetitif. Dunia dan seisinya menjadi demikian represif kepada diri manusia itu sendiri. Represivitas itu dapat kita rasakan di tengah pusaran pasar, pemerintahan, bahkan yang paling dekat adalah keluarga kita sendiri. Pasar sedemikian represif dengan mendikte nasib manusia tanpa modal besar untuk menjadi buruh yang berupah kecil, menutupp akses lahirnya ekonomi kerakyatan, dan menghambat UMKM berbasis kearifan lokal untuk berkembang dengan pesat.
Sebagai rezim, pemerintah selalu memiliki alasan untuk menggulirkan program yang berkedok pembangunan. Nyatanya, hanya sekedar basa-basi koorporasi yang berujung korupsi. Produk-produk kebijakan yang belakangan, tampak represif dan terlihat ingin memastikan rezim langgeng berjalan tanpa kekuatan kritik dari masyarakat.
Keluarga yang tidak memberikan ruang bagi ekspresi kemanusiaan, orang tua yang selalu memaksa anaknya untuk memproduksi uang di tempat kerja yang wah dengan menganggap anak sebagai investasi/kalkulsi kekayaan di masa depan. Intimidasi pasar, rezim pemereintahan, dan tekanan keluarga pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang teralienasi/terasingkan sebagaimana biasa disebut sebagai kaum marjinal.
Kaum marjinal dapat kita terjemahkan sebagai kelompok minoritas yang tidak mampu mengikuti ambisi zaman dan tidak memiliki runag untuk menghidupkan potensi kemanusiannya. Konteks marjinal menjadi sangat multitafsir. Paling tidak, istilah marjinal dapat kita lihat dalam beberapa konteks.
Di antaranya: marjinal secara sosiologis di saat kelompok masyarakat tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Semisal karena perlakuan tidak adil yang disponsosri oleh perbedaan gender. Marjinal dalam ekologis di mana kelompok masyarakat tidak dapat memanfaat sumber daya alamnya secara adil atau SDA yang dimilikinya dirusak oleh bangunan koorporasi yang rakus.
Marjinal dalam pendidikan di saat kelompok minoritas tidak dapat bersekolah dan tidak mendapatkan akses ke sekolah yang mudah dilatarbelakangi oleh pembangunan infrastruktr pendidikan yang tidak merata. Marjinal dalam persoalan politik ketika kelompok minoritas tidak mendapatkan haknya untuk berpartisipasi dalam politik apalagi mendapatkan intimidasi dari kelompok mayoritas, dan marjinal dalam konteks lain yang kerap kita temukan di lingkungan masyarakat.
Beberapa pandangan berpendapat, menjadi kelompok marjinal bisa bersumber dari dua faktor, struktural maupun kultural. Marjinal secara struktural adalah kelompok terpinggirkan yang terhempas karena kebijakan dan persaingan yang didesain oleh penguasa, baik penguasa pasar maupun pengusa pemerintaha misalnya.
Marjinal kultural dapat kita temukan di lingkungan kaum miskin kota yang secara terun menurun mewariskan ketidakmampuan bertahan hidup dan bersaing ditengah arus kehidupan. Marjinal kultural telah bersemayan jauh di dalam alam pikir masyrakat miskin yang pesimistis dengan melihat kehidupan sebagaimana apa adanya.
Tuduhan kehadiran kaum marjinal dalam hal ini kemiskinan kepada kesalahan masnusia miskin itu sendiri dinilai merupakan cara pandang yang keliru. Jalaludin Rahmat memberikan presepsi khusus tentang kemiskinan itu sendiri bahwa kemiskinan merupakan bagian dari buruknya tatanan ekonomi, sosial atau lebih jelas lagi sifat tirani dari elit-elit politik di negara. Pernyataan bahwa sebab kemiskinan adalah kebodohan dan kemalasan orang yang miskin, termasuk kesalahan logika atau disebut blaming the victims (menyalahkan korban).
Terlepas dari dua faktor yang kontradiktif tentang terlahirnya kaum marjinal, kesadaran kritis menjadi point penting dari usaha transformasi masayrakat marjinal menjadi masyarakat yang berbudaya dan berdaya. Krisisnya kesadaran kritis di tengah masyarakat telah menjadikan manusia bergantung kepada orang lain dan melihat kehidupan sebagai hal yang harus dijalani dan diakhiri dengan hukum alam dan coretan takdir tuhan.
Nurani Soyomukti berpendapat, bahwa di tengah kesulitan yang sedang melanda, mereka bukan dibangkitkan jiwanya untuk berhadapan dengan relaitas obyektif, melainkan harus sadar ternyata segala sesuatu “sudah diatur” dan “ditentukan” oleh sesuatu di luar dirinya.
Proses penyadaran tentang kemanusiaan dan ikhtiar untuk memebebaskan dririnya dari jeruji identitas marjinal harus terus berjalan. Proses penyadaran ini harus berjalan untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat marjinal. Sebagaimana pendapat Paulo Freire, proses penyadaran mengarah pada konsep pembebasan yang dinamis dan “kemanusaiaan yang lebih utuh”, hasil dari proses penyadaran ini disebut conscientizacao, atau tingkat kesadaran dimana setiap individu mampu melihat sistem sosial secara kritis.
Pulo Freire menempatkan kesadaran kritis sebagai puncak kesadaran yang berada di atas dua kesadaran lainnya, yaitu kesadaran magis dan kesadaran naif. Kesadaran magis yang menyerahkan kesadaran pada kekuatan mistis yang superior dan tidak ilmiah, dengan melihat kehidupan mereka sebagai sesuatu yang natural dan tidak mungkin dapat diubah. Kesadaran naif yang menyepelakan dan melihat tidak cermat berbagai realitas kehidupan yang dialamianya, ketidakcermatannya melihat realitas menjadi begitu mudah dimanipulasi oleh kepentingan politis dan kepentingan kelompok.
Menjadikan kesadaran kritis sebagai modal sosial transformasi masayrakat marjinal tidak dapat terlahir dengan sendirinya. Masyarakat marjinal membutuhkan support dan ide-ide genuine kaum intelektual untuk dapat mendorong tindakan masayrakat marjinal yang produktif.
Gramsci menilai Massa tidak mampu mencapai kedaran sendiri berdasarakan usahanya sendiri, mereka membutuhkan kaum elite sosial. ketika massa telah dipengaruhi oleh ide-ide itu mereka kan mengambil tindakan yang mendatangkan revolusi sosial. Kaum-kaum intelektual adalah representasi dari seluruh lapisan masyarakat yang memilki peran sebagai organisastor yang memebrikan pandangan mencerahkan “enlightenment” tentang pemajuan harkat martabat masyarakat marjinal.
Aktor-aktor intelektual ini tidak hanya harus berada di ruang-ruang kelas, melainkan manjadi aktor perubahan bagi keadaan masyarakat marjinal. Bukan hanya para pekerja sosial yang berada dalam naungan instansi-instansi pemerintah tapi juga seluruh organisasi, komunitas, dan individu masyarakat yang peduli terhadap sesama.
Dengan kesadaran kritis dan didorong oleh kerja-kerja intelektual dan sosial, masyarakat marjinal akan melihat dunia sebagai pilihan-pilihan jalan hidupnya. Kesadaran kritis akan melahirkan tindakan dan sikap masyarakat marjinal untuk hidup lebih baik dan turut serta terlibat sebagai aktor dari kemajuan zaman.
*) Penggiat Sosial Program keluarga Harapan Kementrian Sosial RI, Mahasiswa Pascasarajana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta.