Senin 27 Nov 2017 07:48 WIB

Guru 'Zaman Now'

Guru teladan (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Guru teladan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Fauzi, Mantan Jurnalis, Wakil Bupati Sumenep

Saat Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, Kaisar Hirohito bukan mengkhawatirkan berapa bangunan gedung yang hancur atau kekayaan yang lenyap seketika, tetapi menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Saat ada yang menjawab sekitar 250 ribu guru, Hirohito pun dengan lantang berucap, Jepang akan lebih maju dari kondisi sewaktu ditaklukkan. Akhirnya, perkataan itu terbukti, pada era 60-an sampai hari ini, Jepang begitu digdaya dalam urusan teknologi dan ekonomi.

Guru, digugu dan ditiru, aksioma lama tentang tugas seorang guru dalam melahirkan generasi yang cerdas dan unggul untuk bangsa dan negara. Kisah Jepang bangkit dari nestapa bom Hiroshima dan Nagasaki, bukan karena Jepang punya harta karun, tetapi punya guru yang layak diteladani. Dari tangan-tangan guru itulah, generasi emas dalam setiap generasi lahir dan menginspirasi bagi Jepang.

Ya, menjadi guru bukan sekadar bertanggung jawab memberikan asupan pelajaran, tetapi juga harus mampu mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. Akhir-akhir ini, sungguh sangat mencengangkan melihat budaya santun menjadi barang langka. Begitu mudahnya seorang siswa mengumpati gurunya di medsos. Ada anak yang sudah berani mengancam orang tuanya sendiri hanya gara-gara hal sepele atau sudah banyak yang muncul generasi-generasi kita (anak didik) yang tidak tahu malu memamerkan naluri berahi di dunia maya.

Atau yang lebih parah dan membuat publik jengah, hal-hal yang menabrak susila dan budaya adalah kiblat pembangun peradaban itu sendiri, yakni guru. Tidak sedikit kita dibuat cengang oleh sebagian perilaku guru yang tak pantas digugu dan ditiru. Ada guru yang tega berbuat asusila kepada siswanya.

Mungkin begitulah ketika budaya santun sudah menjadi barang langka. Menabrak etika. Sungguh, kini perilaku menyimpang bisa dilakukan oleh siapa saja, ibarat bola salju, makin menggelinding makin meluas. Sekadar menyebut contoh, perilaku itu tidak hanya dilakukan oleh anak didik atau guru, tetapi juga meluas di kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan oleh masyarakat luas.

Pada saat yang sama juga kita ikut menjadi saksi, sarana ibadah kita seolah hanya menjadi tempat yang tak berdampak apa-apa. Kondisi kita seperti Italia, negeri maju dan sejahtera, di gereja-gereja penuh sesak, tapi sungguh fenomena yang langka ketika kesantunan dan rasa malu sudah tidak ada, politikusnya bermasalah, sistem hukumnya dipengaruhi suap dan ancaman mafia, penjara pun penuh sesak oleh para narapidana. Kita sangat berbeda dengan negara Austria, gerejanya tidak sesak, tetapi penjaranya juga kosong. Politikusnya tak banyak masalah, kriminalitas nyaris tidak ada.

Oleh karena itu, dengan kondisi negara kita yang carut marut oleh peristiwa menyedihkan ini, kita memimpin seperti Austria atau Jepang, kalangan pendidik, para guru, bisa menjadi tempat menggantungkan harapan akan negara yang lebih baik ke depan.

Mengenai hal itu, masih sangat segar dalam ingatan, pada awal kemerdekaan hingga awal tahun 2000-an, guru begitu mulia dan diagungkan, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Di sekolah, misalnya, guru seperti malaikat, sedangkan di lingkungan masyarakat guru bak nabi, baik ucapan, perbuatan, maupun pemikirannya dianggap mewakili kesantunan nabi.

Tentu posisi guru yang begitu agung itu bukanlah tanpa makna. Hal itu tak lepas dari perannya yang begitu luar biasa dalam menghasilkan generasi-generasi yang beradab dan berkarakter. Makanya, slogan “Guru; digugu dan ditiru” benar-benar melekat pada dirinya. Untuk itulah, pada setiap 25 November wajib dijadikan refleksi oleh semua guru bahwa guru punya tugas mulia untuk menuntaskan tanggung jawabnya sebagai benteng moral. Bukan sekadar hajatan seremonial.

Dalam hal ini, jika boleh memberi usul, negara kita perlu menugasi semua guru dan dosen agar setiap kali mengajar, menyisihkan waktu tiga menit untuk menyampaikan contoh-contoh nilai kehidupan yang luhur, baik dari pengalaman pribadi, keteladanan tokoh-tokoh, maupun keteladan lain. Tentu hal ini untuk mengembalikan posisi guru sebagai murabbi; pendidik, pelatih, dan pembimbing moral. Kita berharap suatu saat nanti kita seperti Jepang dan Korea Selatan. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement