Oleh: DR Tony Rosyid*
GNPF vs Jokowi? Terlalu mengada-ada. Perbandingan yang tidak sepadan. Politisi kok dibandingkan dengan gerombolan? Gak nyambung! ABG bilang: ini "lebay".
Kalau mau mempertandingkan Jokowi dengan Prabowo, ini lebih pas. Sama-sama politisi. Masing-masing punya kekuatan dan dukungan partai. Atau kalau sedikit agak berani, Jokowi dengan Anies Baswedan. Keduanya sama-sama pernah jadi gubernur DKI dan berpeluang maju di pilpres 2019. Bukan GNPF dengan Jokowi. GNPF bukan partai, bukan juga ormas. Bagaimana mau dirivalkan di 2019? Ah, ada-ada aja.
Benar, GNPF itu gerombolan, bukan ormas, apalagi partai politik. Lazimnya ormas itu punya ijin, GNPF tidak punya ijin. Mengurus pun tidak. Mungkin takut ditolak. Hehe. Karena tidak punya ijin, GNPF tidak bisa dibubarkan. Perpu Ormas tak berlaku baginya.
Gerombolan ini mengawali kiprahnya dengan "woro-woro" kepada umat untuk Aksi Bela Islam. Apa yang dituntut? Keadilan! Tak disangka, 4/11, ada 4 juta massa yang datang. Lanjut 2/12, ada tambahan jadi 7 juta yang datang. Dasyat sekali. Tak ada yang menyangka, termasuk GNPF sendiri. Ini pengalaman pertama di Indonesia ada aksi demo diikuti jutaan orang.
Aksi GNPF menuntut Ahok dipenjarakan karena "diyakini" telah menista agama. Aksi ini sukses dan Ahok pun dipenjara. Tidak hanya itu, incumbent juga gagal jadi gubernur lagi. Bagi GNPF, ini bonus. Apapun tuduhan kepada GNPF, langkahnya berhasil mengantar Ahok ke penjara. Bagi GNPF, itulah keadilan. Hukum mesti ditegakkan dan keadilan harus diperjuangkan. Tujuan inilah yang menjadi magnet massa datang dan berbondong-bondong memberikan dukungan.
Ahok kalah, banyak pihak meradang, terutama para pendukung dan partai pengusung. Itu hal biasa. Setiap kekalahan pasti membawa luka. Tapi, "luka politik " mudah disembuhkan oleh ide kepentingan. Dalam politik, kawan dan musuh itu hanya "status yang bergantian".
Selama proses tuntutan, hubungan GNPF seringkali berbenturan dengan kekuasaan. Dugaan bahwa keduanya berseberangan dalam haluan kian menguat setelah sejumlah orang ditersangkakan. Klimaksnya, ketua dewan pembina GNPF ikut didaftar namanya, "jadi tersangka" dan "chatting mesum" yang kebenarannya dipertanyakan banyak pihak juga viral di media. Disinilah dugaan perseteruan antara GNPF dan penguasa semakin sulit terbantahkan.
Meminjam analisis "The functions of social conflicts "-nya Lewis Coser, posisi "tersangkanya" Habib Rizieq, Alfian Tanjung, serta sejumlah tokoh dan aktifis GNPF lainnya justru menjadi faktor perekat umat.