REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umar Juoro
DPR menyetujui APBN 2018 dengan asumsi makro ekonomi pertumbuhan 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai Rp/dolar AS 13.400, bunga SPN tiga bulan 5,2 persen, harga minyak 48 dolar AS per barel, dan produksi minyak 800 ribu barel per hari. Total pengeluaran adalah Rp 2.221 triliun, dengan defisit sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen PDB.
Dengan defisit yang lebih rendah maka pembiayaan melalui Surat Utang Negara juga berkurang menjadi Rp 399 triliun, namun dengan SUN yang jatuh tempo sekitar Rp 280 triliun di 2018, maka penerbitan SUN secara bruto mencapai sekitar Rp 680 triliun. Pengeluaran untuk infrastrukur dinaikkan menjadi Rp 409 triliun. Pemerintah memberikan prioritas pada pembangunan infrastruktur, mengurangi kesenjangan, dan meningkatan kesejahteraan rakyat.
Asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen sebenarnya cukup optimistis. IMF dan banyak analis memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah yaitu 5,3 persen. Dengan total pengeluaran APBN yang kurang dari 20 persen PDB, maka peran APBN dalam mendorong perkembangan ekonomi dapat dikatakan semakin mengecil. Pembangunan infrastruktur juga kurang dapat menciptakan efek berganda terhadap perkembangan ekonomi.
Baca juga: Tiga Tahun Jokowi-JK, Utang Luar Negeri Melejit
Kecenderungan konsumsi masyarakat melemah dengan pertumbuhan konsumsi di bawah pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mengharapkan dorongan pertumbuhan ekonomi adalah dari investasi dan ekspor. Namun untuk perkembangan PMA tidak sebesar yang diharapkan. Harapan investor asing terhadap keterbukaan ekonomi tidak seperti yang dijanjikan pemerintah sehingga perkembangan PMA tidak seperti yang diharapkan.
Bahkan perusahaan yang sudah ada di Indonesia, seperti di sektor migas cenderung untuk pindah ke negara lain. Perkembangan ekspor membaik dan memberikan sumbangan pada surplus perdagangan. Tetapi keinginan supaya ekspor tumbuh lebih tinggi lagi adalah sulit karena perkembangan ekonomi dunia sekalipun sedikit membaik, namun belum memberikan peluang pasar ekspor yang besar.
Kredit perbankan bahkan kembali melemah dengan pertimbuhan 7,8 persen, sementara DPK (Dana Pihak Ketiga) masih tumbuh di atas 9 persen. Jadi masyarakat yang mempunyai dana terutama golongan menengah dan atas cenderung menahan belanja dan menabung dananya di bank. Sementara bank pada umumnya belum mendapatkan permintaan kredit yang memadai. Banyak permintaan kredit yang kualitasnya rendah dan kemungkinan macetnya tinggi.
Hanya bank BUMN yang pertumbuhan kreditnya tinggi terutama untuk BUMN yang membangun infrastruktur. Keberlanjutan kredit infrastrukur ini juga menjadi pertanyaan, karena dana perbankan yang jangka pendek sedangkan infrastruktur berjangka panjang.
Banyak proyek infrastruktur yang imbal hasilnya rendah, sehingga menghadapi risiko kesulitan membayar kredit ke bank nantinya. Sekalipun BI telah menurunkan beberapa kali suku bunga kebijakan, namun bunga kredit belum menurun secara signifikan. Dengan marjin yang masih cukup tinggi lebih dari 5%, maka sekalipun pertumbuhan kredit melambat, namun perbankan masih membukulan laba yang cukup tinggi.
Dengan agresivitas aparat pajak untuk menaikkan penerimaan pajak, maka kecenderungan perusahaan dan keluarga untuk menahan pengeluarannya masih akan berlanjut. Mereka khawatir menjadi sasaran objek pajak, dan harus membayar pajak yang lebih tinggi. Karena itu mereka cenderung manahan dananya.
Penjualan rumah semestinya masih baik, namun terlihat mengalami stagnasi. Kebutuhan rumah untuk ukuran menengah dan bawah sebenarnya masih tinggi. Namun untuk yang menengah karena alasan kekhawatiran pajak, kecenderungannya mengalami pelemahan.