REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Makhrus, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sudah jamak, Muhammad SAW lahir dalam kondisi yatim. Tepat di umur enam tahun, ibunda wafat menyusul ayah beliau menuju kehadirat Ilahi. Di umur yang masih belia itu, dia menikmati kasih sayang (asuhan) dari ibunda itu pun tidak lama.
Kemudian Abdul Muthalib dan Abu Thalib menggantikan peran orang tua Nabi. Kedua kerabat dekat tersebut, terlebih dahulu Muhammad harus menjalankan proses pengasuhan serta penyusuan dari orang desa dan miskin, Halimah Bani Saad suku Hawazin.
Meski demikian, Rasulullah juga manusia yang tidak lepas dari tahapan mental sosial sebagaimana manusia lainnya. Sehingga, dengan proses-proses tersebut Nabi memiliki kematangan psikososial di atas rata-rata.
Masyarakat Muslim dunia baru saja memperingati hari kelahiran atau maulid Nabi. Dengan ragam akspresi dan kreativitas lahir demi penghormatan kepada sosok Nabi akhir zaman ini. Selain penghormatan, juga dalam rangka menggali spirit dan ajaran yang dipraktikkan oleh manusia dengan kualitas psikososial tinggi ini.
Dan karena sosoknya sebagai seorang manusia, pengalaman dan tahapan psikologis sekaligus sosiologis berkontribusi bagi kepribadiannya. Sehingga, Allah SWT mengabadikan Nabi dalam Alquran, “Sungguh engkau di atas pekerti yang luhur.” (QS al-Qalam: 4).
Seorang pribadi manusia sampai kepada tahap ketinggian psikososial yang sempurna memerlukan kemapuan memotivasi sikap dan perbuatan dalam melalu proses-proses alamiah semasa hidupnya. Banyak hal yang perlu dieksplorasi mengenai perjalanan mental Rasulullah, terkhusus saat masih anak-anak.
Sebab, usia anak-anak dalam dunia psikologi disebut sebagai masa keemasan, golden age. Masa itu terhitung sejak lahir sampai dengan delapan tahun. Dan mencapai puncaknya saat berumur 18 tahun. Pada tahapan ini, 80 persen jaringan otak manusia mengalami perkembangan pesat dengan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap informasi dan pengalaman.