REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heryadi Silvianto *)
Hari ini tanggal 10 Desember 2017 ditempat saya berlangsung pemilihan ketua Rukun Warga (RW), diberi nama Pilkawe (Pemilihan Ketua RW). Tapi ini bukan sembarang kawe, karena acara berlangsung asli (berjenjang) dan tidak ada produk politik palsu. Lazimnya sebuah pemilihan ada yang dipilih -kandidat-, pemilih dan panitia. Tidak lupa beragam infrastruktur pemilihan yang dibutuhkan seperti bilik suara, kertas suara, kotak suara dan tinta. Tidak ada yang berbeda dengan pemilihan di tempat lain.
Selain itu, digelar juga bazar warga dan organ tunggal. Tasbihnya, aneka jajanan dan jualan berseliweran ditengah warga yang hendak memilih. Anak- anak berlarian kesana kemari. Ditemani suara warga yang melantunkan lagu, para kandidat saling bersenda gurau. Hampir tak ada wajah tegang satu sama lain. Seakan tidak dalam wahana kompetisi. Miniatur pesta demokrasi sesungguhnya.
Sebulan tahapan pemilihan efektif ditetapkan oleh pengurus RW lama, selain pembentukan panitia juga penjaringan kandidat. Tercatat di RW kami ada empat RT 1 hingga RT 4, awalnya masing-masing RT melakukan penjaringan untuk mendapatkan satu orang yang dicalonkan. Secara berjenjang akhirnya munculah empat orang yang memiliki profesi yang berbeda mewakili RT masing-masing; ada pegawai BUMN, ada artis, pegawai swasta dan pengusaha.
Lalu apa yang menarik?
Pemilih yang hadir sebanyak 317, dengan jumlah KK sebanyak 330. Tingkat partisipasi pemilih yang lumayan banyak. Jikapun ada yang tidak hadir maka mereka dengan sukarela meminta izin kepada pengurus atas hajat mereka. Yang harus berangkat pagi tunaikan awal waktu, pun yang diakhir bergegas menuju TPS sebelum usai. Sebuha mental yang baik dari seorang pemilih saya pikir.
Satu bulan waktu yang disediakan oleh panitia untuk mensosialisikan diri kepada pemilih praktis tidak dilakukan oleh setiap kandidat. Buktinya tak ada satu lembar baliho dan sehelai poster pun yang dipasang, tak ada titipan dana segar menjelang fajar, tak ada negative campaign atau black campaign antar kandidat di media sosial warga dan tak ada tebar janji program. Aneh? tidak juga. Karena ini sudah terjadi.
Pengurus demisioner mengambil inisiatif kematangan organisasi yang luar biasa menurut saya, bukan hanya dalam mengelola proses transisi kepengurusan. Namun juga melakukan apresiasi terhadap estafet kepemimpinan yang pernah ada, tasbihnya semua pengurus RW, RT, DKM, yayasan dan simpul-simpul warga yang sedang maupun pernah menjabat diundang secara khusus dengan undangan berupa kaos. Lebih dari 150 kaos dicetak, tasbihnya saat pemilihan mereka datang dengan antusias. Pembukaan pemilihan dilakukan dengan foto bersama seluruh yang terundang tersebut. Teduh rasanya.
Saat hari pemilihan, kampanye masih boleh dilakukan. Anehnya, setiap kandidat men-downgrade atau mendemarketing dirinya sendiri untuk tidak dipilih. Semisal, kandidat yang berkerja di BUMN jalan tol, saat ditanya oleh panelis atau MC apakah akan mengratiskan jalan tol dan membagi e-tol. Jawabannya, per 1 desember tol dalam kota naik dan insyaAlloh jika dirinya terpilih tetap akan naik. Pun demikian dengan iuran warga, dirinya berkomitmen untuk menaikan. Derai tawa mengalir dari calon pemilih. Sangat tidak menjual jika merujuk buku marketing politik.
Epik yang lain, kandidat dengan latar belakang artis. Ada pertanyaan dari panelis, apakah ada tips agar anak-anak muda bisa terjun kedunia entertain? Dirinya menjawab: jangan deh, saya aja meninggalkan dunia yang digeluti sejak tahun 2002. Alasannya sederhana, susah waktu sholatnya. Nyesss.
Meski kandidat yang ada melakukan demarketing terhadap dirinya sendiri, namun berpuluh-puluh pemilih tetap menaruh coblosan kepada mereka. Bahkan pada akhirnya terpilih. Aneh gak? Enggak juga. Karena itu terjadi.
Kebetulan perumahan kami pengembangnya mengusung konsep islami, maka secara faktual semua penghuninya adalah orang muslim dengan beragam varian mahzabnya. Namun saat pemilihan baik dia salafi, tarbiyah, nahdiyin, muhammadiyah, jamaah tabligh, dan islam nasionalis datang memenuhi hak mencoblos. Tumplek plek. Menikmati demokrasi secara proporsional.
Pelajaran demokrasi
Kisah pilkawe di atas mungkin bukan satu-satunya, tapi saya juga berkeyakinan bukan model pemilihan sebagaimana lazimnya (mainstream). Penuh intrik, saling jegal, sumpah serapah di medsos dan merasa paling toleran. Agama tidak dimusuhi, namun difasilitasi mengisi ruang politik. Sebagaimana agama juga memberi warna dalam kompetisi politik. Biasa saja, tidak ada proses sekularisasi dan pembusukan dalam tema-tema agama.
Keterdidikan menjadikan pemilih bukan hanya rasional, namun juga emosional yang terukur. Sehingga ada ungkapan bahwa empat kandidat ini adalah yang terbaik dieranya, siapapun yang terpilih dia yang memegang suluh dengan warga yang membantu memikul. Jika agama dan negara dibekali Ilmu, maka ditempatkan secara layak, yang didapatkan adalah pemilih yang dewasa, mandiri, dan tidak transaksional.
Proses transisi berlangsung sangat smooth, yang berhenti memfasilitasi dan membantu yang terpilih. Tidak ada yang ngambek dan merasa dikalahkan, lalu memilih berlibur. Yang dipilih mengawali sambutan politiknya dengan kalimat "Innalillahi wa innailahi rojiun" karena paham jabatannya adalah tanggung jawab kewargaan, bukan tempat mencari nafkah.
Hikmah lain, sebesar apapun seorang kandidat me-'matikan' dirinya, jika para pemilih mengetahui secara persis track record (rekam jejak) seseorang maka tidak akan membendung mereka menumpahkan pilihannya kepada kandidat tersebut.
Andai saja ini bisa dilakukan ke tingkat demokrasi yang lebih tinggi, mungkin kita bisa berharap lebih pada wajah demokrasi kedepan lebih baik. Modal sosial seperti ini saya pikir perlu terus dikembangkan dan direduplikasi. Jika boleh usul ...
*) Peneliti di Institute for Social Law and Humanity Studies (ISLAH)