REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hadi Supeno *)
Saya lupa hari dan tanggalnya. Tapi ingat betul, suatu siang di akhir 2008. Selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bersama rombongan komisioner lainnya kami melakukan audiensi dengan Mahkamah Konstitusi, yang saat itu diketuai oleh Prof Jimly Assidiqie.
Ada dua alasan mengapa kami beraudiensi. Pertama, konsultasi rutin sesama lembaga negara non Kementerian. Banyak hal misi KPAI yang terkait dengan persoalan hukum dan keadilan dalam kerangka pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak.
Kedua, saat itu sedang ramai berkait judicial review (JR)terhadap UU Nomor 44Tahun 2008 tentang Pornografi. Beberapa Pihak menolak sejumlah pasal UU tersebut, yang sejak pembahasan di Eksekutif maupun Legislatif sudah dipenuhi sikap pro kontra masyarakat dengan berbagai alasannya.
KPAI selaku Pihak Terkait ingin menyampaikan aspirasi langsung kepada Ketua MK. Harapannya, seluruh pasal usulan JR ditolak, demi kepentingan terbaik bagi anak.
Di awal pertemuan kami berbincang akrab. Terlebih salah seorang Komisioner KPAI kenalan baik Prof Jimly, bahkan saat teman Komisioner menikahkan putrinya, Prof Jimly bertindak selaku saksi.
Prof Jimly marah
Namun suasana berubah menjadi tegang. Lepas basa basi dan saling berkenalan, kami bersembilan orang menyampaikan misi audiensi, yakni agar MK menolak JR dan mengalahkan Pihak Pemohon.
Prof Jimly tiba-tiba marah dan menggertak kami. “Kalian membohongi kami. Di surat permohonan hanya tercantum untuk konsultasi kelembagaan, bukan menyampaikan aspirasi” ujarnya sambil mengibaskan surat dari KPAI.
Ketika kami coba beri alasan: untuk melindungi anak, untuk menjaga moral bangsa, dan alasan panjang lainnya, sang Ketua MK berkata keras: ”Berhenti, atau saya usir!” ujarnya. Kami terkesiap, baru sadar bahwa Prof Jimly sangat serius, menganggap kami berbuat salah.
“Ibu-ibu dan Bapak-bapak, Anda mau berbincang apa saja berapa lama di ruang ini silakan. Namun jangan sekali-kali bicara materi perkara. Apapun alasannya, berbicara materi perkara yang sedang dan akan dididangkan adalah pelanggaran etika. Itu tabu bagi para hakim konstitusi. Inilah standar kepemimpinan saya. Hakim tak boleh bertemu dengan para pihak yang sedang memiliki kepentingan persidangan,” ungkapnya.
Prof Jimly lalu menantang kami yang setengah bengong, apakah pertemuan berhenti sampai di sini, ataukah dilanjut namun bicara hal lain yang tidak berkait dengan materi UU Pornografi, di mana KPAI dalam posisi sebagai pihak terkait.
Kami menjadi ngeh, dan berkomitmen bicara hal lain. Lalu suasana cair kembali tercipta, penuh sendau gurau dan haha hihi, manusiawi.
Terus terang semula kami tersingung dengan sikap Prof Jimly yang “sok profesional” dan terkesan sombong. Namun saya pikir, inilah yang disebut integritas. MK adalah lembaga tinggi negara benteng terakhir bangsa ini menemukan keadilan dari mata air konstitusi dasar: UUD 1945. Maka sudah semestinya manakala MK diisi oleh para hakim tanpa cacat, menjunjung tinggi kode etik, dan berintegritas tinggi. Diam-diam saya mengagumi sikap Ptof Jimly. Rasa tersinggung dan sakit hati itu berubah menjadi kekaguman, salut, dan respek tinggi untuknya.
Terkena OTT
Sayang ia hanya menjabat satu periode kepemimpinan. Setelahnya, ia memilih mundur, saat MK dipimpin oleh Prof Mahfud MD. Saya tak tahu persis, apakah standar integritas Prof Jimly semata milik pribadi, ataukah sudah terinternalisasi menjadi Kode Etik sistem di MK.
Soalnya, setelah itu banyak kasus melibatkan para hakim konstitusi yang menghebohkan dunia peradilan. Tidak tanggung-tanggung sang Ketua MK Akil Mochtar terkena operasi tangkap tangan KPK. Menyusul kemudian hakim Patrialis Akbar.
Nah yang terbaru, Ketua MK Arief Hidayat diberitakan bertemu dengan anggota Komisi III DPR RI di sebuah hotel. Akibatnya Dewan Etik MK kini tengah bersiap mengklarifikasi pertemuan tetsebut.
Saatnya kini para hakim di level manapun untuk memiliki standar tinggi tentang Kode Etik. Janganlah terlalu mudah seorang hakim bertemu dengan para pihak yang bukan agenda resmi institusi, termasuk kegiatan seni, olah raga, dan sosial.
Beberapa hakim PN dan PT yang terkena OTT KPK dapat dipastikan bermula dari standar yang rendah para hakim dalam menerima Para Pihak yang sedang berperkara, yang biasanya lewat para perantara, apakah orang biasa, panitera, dan terutama para pengacara.
Apakah hakim harus hidup asosial? Ya, apa boleh buat. Hakim harus mendekati malaikat. Demi menjaga integritas yang mampu melahirkan keadilan sejati, seorang hakim harus berani hidup asosial.
Standar profesionalitas Prof Jimly bisa untuk rujukan para hakim lainnya. Dan sikap itulah yang memang seharusnya dimiliki oleh para hakim.
Jangan biarkan olok-olok bahwa Hakim itu singkatan “Hubungi Aku Kalau Ingin Menang” terus beredar di masyarakat. Di tangan para hakim yang berintegritas, bangsa ini akan terjaga marwah dan martabatnya.
*) Mantan Ketua Komisioner KPAI 2007-2010