REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizky Fajrianto *)
Menjelang akhir tahun, banyak suara sumbang terdengar di kalangan masyarakat Indonesia. Ada perasaan malu menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Rasa malu yang dipicu oleh berbagai masalah yang sering terdengar.
Misalnya, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap di mata publik karena kerja-kerja KPK. Yang paling menyedot perhatian tentu kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang melibatkan mantan ketua umum Partai Golongan Karya Setya Novanto.
Kemudian kasus vaksin palsu yang beredar di pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit, kemacetan di berbagai ruas jalan raya, siang dan malam, prestasi buruk kontingen Indonesia di kancah SEA Games 2017 Malaysia, dan masih banyak lagi.
Pada sisi lain, banyak pula warga negara Indonesia yang marah setelah sejumlah budaya daerah diklaim negara lain. Seperti tari kuda lumping, kesenian reog ponorogo, kain batik, alat musik gamelan, lagu bengawan solo, dan lain-lain.
Menjadi pertanyaan kemudian, masih adakah kebanggaan di kalangan masyarakat kita sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Wujud nasionalisme
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Begitu banyak keragaman budaya, adat, suku, dan bahasa. Menurut Presiden Joko Widodo ketika menghadiri Penutupan Kongres XI Legiun Veteran Republik Indonesia Tahun 2017 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (19/10), Indonesia terdiri dari sekitar 17 ribu pulau dan 714 suku.
Semua itu tentu menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Pemenuhan di bidang kesehatan, pendidikan, hingga lapangan kerja, juga harus dipenuhi. Jumlah populasi penduduk yang begitu besar (berdasarkan data yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 sebanyak 257.912.349 jiwa) jelas merupakan potensi.
Akan tetapi, hal itu pula yang membuka peluang perpecahan diantara anak bangsa di negara ini. Kita terlihat besar tapi kecil, terlihat kaya tapi miskin, terlihat merdeka tapi terjajah. Kira-kira begitu adagium yang pas untuk menggambarkan.
Kebanggaan kita sebagai seorang warga negara Indonesia merupakan salah satu wujud nasionalisme. Bangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, memiliki sejumlah makna. Mulai dari tidak mau menurut; mendaga; membangkang hingga besar hati; merasa gagah (karena mempunyai keunggulan). Contoh kalimatnya: regu Indonesia boleh bangga karena dapat mempertahankan Piala Thomas.
Berkaca dari definisi itu, kata kunci dari bangga adalah kepemilikan keunggulan. Akan tetapi, seringkali juga kita sendiri yang tidak menghargai, bahkan kadang melecehkan. Tidak memelihara dengan baik sehingga dipungut dan dijajah oleh bangsa lain.
Harus berbuat apa?
Setiap generasi, sebagaimana kita pahami bersama, tentu mempunyai perjuangan yang berbeda. Dasar rasa Nasionalisme itu hadir dengan ikut berperan dalam rangka menjadikan anak-anak dan generasi muda Indonesia menjadi orang-orang yang kokoh imannya. Serta tak kalah penting adalah menciptakan anak-anak dan generasi muda yang pintar dan baik batinnya.
Dalam era millenial seperti sekarang, apa yang harus kita perbuat dalam upaya agar kita dapat bangga dengan apa-apa yang kita miliki di Indonesia? Caranya ternyata sederhana, tidaklah sulit.
Semua bisa dimulai dari menumbuhkan rasa ikut memiliki (sense of belonging), rasa ikut berpartisipasi (sense of participation), dan rasa ikut bertanggung jawab (sense of responsibility) terhadap Indonesia. Dukungan sekaligus kritik terhadap pemerintah bisa menjadi salah satu wujud kepemilikan terhadap bangsa.
Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak 2014 hingga pada akhir tahun ini sudah merealisasikan begitu banyak program. Seperti pembangunan jalan tol 568 kilometer yang merata di semua wilayah Tanah Air, pemberian sertifikat pengelolaan tanah secara gratis, hingga kebijakan perikanan dan kelautan yang mendorong agar nelayan menangkap ikan dengan alat yang ramah lingkungan.
Masih banyak lagi pencapaian positif yang patut dibanggakan. Akan tetapi, banyak juga tantangan yang masih mengadang pemerintahan ini. Mulai dari masih maraknya korupsi, pungutan liar di berbagai sektor, sampai pelanggaran hak asasi manusia.
Maka dari itu, semua atribut identitas kita sebagai bangsa Indonesia harus kita rawat, kita jaga, dan kita banggakan. Muaranya agar pencapaian prestasi terbaik dari kita untuk negara tercinta, Indonesia, bisa terwujud. Karena mencintai Indonesia dengan sederhana adalah dengan membanggakan Indonesia, di manapun dan kapanpun.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip perkataan Presiden Pertama Republik Indonesia sekaligus Proklamator Kemerdekaan RI, yaitu Ir Sukarno: "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak..."
*) Founder Gerakan Rusun Mengajar, Founder synergyscholarship.id