REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Budiman *)
Setiap kebijakan pada dasarnya diasumsikan berasal dari nalar interest dari setiap pengambil kebijakan. Ia bukan berada di ruang hampa, melainkan dirumuskan secara cermat baik dari sisi politis maupun teknokratis.
Jika pengambil kebijakan tersebut berlatar belakang sebagai pengusaha atau economic minded, maka ia akan cenderung mengutamakan kepentingan private sector terlebih dahulu, apalagi jika potential economic benefit-nya sangat tinggi.
Salah satu cara berpikir yang lazim dari economic minded tersebut adalah rational-choice. Kita bisa melihat, misalnya, dari cara bagaimana gubernur DKI sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama menata PKL di Tanah Abang. Pendekatan stick and carrot digunakan, dengan cara melibatkan Satpol PP untuk menata kawasan Tanah Abang. Namun, alih-alih menata kawasan, cara seperti ini kerap dikritik karena ternyata bukan menyingkirkan kemiskinan tapi menyingkirkan orang miskin.
Namun, jika pengambil kebijakan tersebut adalah seorang berlatar belakang aktivis, pendidik, dan dalam sejarahnya lekat dengan membela masyarakat kecil, maka cara menyelesaikan persoalan dilihat dari siapa aktor terlemah dalam stakeholder yang terlibat.
Dalam studi Ilmu Politik, corak kepemimpinan seperti ini dikenal dengan istilah Populisme. Corak kepemimpinan seperti ini akan mendapatkan persemaian yang subur di tengah masyarakat yang sedang menghadapi krisis (saidiman, 2015).
Dengan kata lain, ciri khas kepemimpinan Populisme adalah menekankan bahwa rakyat adalah segalanya, penguatan terhadap dimensi komunitas kolektif, dan cenderung abai terhadap pembelahan ideologi kanan-kiri (Meny dan Surel, 2002).
Meskipun demikian, demokrasi substantif menekankan bahwa Populisme harus selaras dengan kebijakan yang dirumuskannya. Artinya, keberpihakan terhadap wong cilik tidak hanya berhenti di saat kampanye politik berupa citra (demokrasi prosedural), tapi juga harus tercermin dalam formulasi kebijakan yang terukur, komprehensif, dan yang terpenting people-centric
Seperti itulah yang terjadi dengan kebijakan penataan kawasan Tanah Abang yang sedang ramai belakangan ini. Tiga gubernur DKI, mulai dari Jokowi, Basuki, hingga Anies tentu memiliki visi yang sama untuk menata kawasan pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini. Yaitu, sama-sama menghadirkan kawasan yang memiliki perputaran uang 200 miliar per hari ini menjadi lebih tertata, baik untuk pedagang, pejalan kaki, hingga sarana transportasi yang melintasinya. Bedanya, adalah masing-masing mereka memiliki pendekatan penataan yang berbeda, tergantung pada political interest, yaitu nalar bagaimana seharusnya penataan ideal kawasan Tanah Abang.
Policy crafting
Karena nalar seorang pemimpin (pengambil kebijakan) turut mendeterminasi cara bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan dan diimplementasikan, maka di antara tiga gubernur DKI belakangan ini, proporsi penilaian kebijakan penataan kawasan Tanah Abang yang lebih menekankan pada aspek populisme, lebih tepat diberikan kepada Gubernur DKI saat ini, yaitu Anies Baswedan.
Gaya kepemimpinan Populisme yang ditampilkan oleh Anies tercermin, salah satunya, dari implementasi kebijakan terkait penataan kawasan Tanah Abang. Anies tidak hanya mampu menampilkan Populisme tersebut sebagai sebuah citra, tapi juga terangkum dalam keberpihakannya terhadap institusi ekonomi terlemah bernama UMKM (PKL).
Dalam konteks situasi ekonomi nasional yang sedang melemah di mana salah satunya ditunjukkan dengan daya beli yang terus menurun dan besarnya short-fall penerimaan perpajakan tiap tahunnya, maka kebijakan untuk menata kawasan Tanah Abang dengan menggairahkan kembali UMKM adalah pilihan paling realistis bagi Pemprov DKI.
Oleh karena, pegiat UMKM, khususnya yang berdagang dengan menggunakan lapak konvensional, hanya mampu berkembang hanya dan hanya jika ada intervensi dari pemerintah. Keberpihakan tersebut, tidak hanya dalam konteks permodalan, tapi juga menyediakan ruang aksesibel untuk berdagang.
Meskipun demikian, penataan Kawasan Tanah Abang yang diluncurkan Anies pada pekan lalu, bukanlah kebijakan final. Seperti halnya melakukan sebuah “kerajinan tangan” (handy craft): kebijakan penataan kawasan Tanah Abang dilakukan secara bertahap, di mana yang diupayakan untuk dibenahi tidak hanya PKL saja, melainkan juga sistem transportasi dan revitalisasi Gedung Blok G.
Pendekatan yang komprehensif, terukur, dan multi stake holder ini dalam pengamatan penulis, tidak hadir dalam dua gubernur sebelum Anies. Revitalisasi Tanah Abang hanya sebatas revitalisasi fisik Blok G. Sehingga PKL “diminta” kembali berjualan di gedung berusia puluhan tahun tersebut, tanpa kejelasan milestone bagaimana caranya mengundang pembeli untuk hadir dan revitalisasi sarana dan prasarana Blok G.
Memang, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya juga pernah memiliki ide untuk membangun skywalk yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang dengan Blok G. Sehingga, para komuter yang menuju dan dari Stasiun Tanah Abang dipastikan melalui Blok G. Namun, perilaku politik yang akhirnya mengundang konflik terhadap gubernur, mengakibatkan dua tahun kepemimpinan Beliau belum banyak arti bagi revitalisasi Pasar Tanah Abang.
Secara teori, Crafting Policy lazim digunakan oleh para pengambil kebijakan yang membutuhkan pendekatan multi years dan multi aktor. Ia seperti membangun sebuah bangunan, di mana para arsitek, tukang kayu, ahli elektronik, dan sebagainya bertugas untuk menciptakan rumah yang nyaman (Biggs dan Helms, 2014). Pendekatan ini kerap digunakan di negara berkembang, untuk menciptakan perubahan secara bertahap dan tanpa menimbulkan kegaduhan yang berarti. Misalnya, kebijakan pengentasan kemiskinan di negara Amerika Latin (De La O, 2015).
Pendekatan kebijakan Crafting Policy yang dilakukan Gubernur Anies tersebut dimulai dari menata para PKL yang berada di salah satu jalur Jalan Jati Baru, tepat di area keluar dan masuknya komuter dari dan menuju Stasiun Tanah Abang. Jalan sepanjang 400 meter itu ditutup mulai dari pukul pukul 08.00 hingga 18.00 WIB untuk evakuasi sementara pedagang Blok G Tanah Abang dan lalu lintas pejalan kaki.
Sedangkan, untuk sirkulasi transportasi, di jalur lainnya Jalan Jati Baru tersebut, dilakukan rekayasa lalu lintas untuk memberikan kenyamanan bagi 178.404 penumpang yang menggunakan commuter line. Angka ini, naik 70 persen dibandingkan tahun 2014.
Salah satu rekayasa lalu lintas tersebut adalah disediakan Bus Transjakarta Explorer dengan kapasitas 66 penumpang, di 10 shuttle bus secara gratis selama penutupan jalan mulai dari pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB.
Sedangkan, bagi ojek daring dan ojek pangkalan, disediakan pula pangkalan khusus oleh Pemprov DKI. Secara jangka panjang, kebijakan temporer yang disebut dengan Penertiban Tahap 1 dan 2 ini akan melatih kebiasaan masyarakat untuk berperilaku tertib dan lebih memilih untuk menggunakan kendaraan umum.
Menjaga stamina
Meskipun demikian, langkah brilian Gubernur Anies ini harus dibingkai dalam rangka kerja jangka panjang. Banyak gebrakan dalam tiga bulan kepemimpinan, bukan berarti semua program, baik yang termuat dan tidak dalam janji kampanye, harus direalisasikan dalam 100 hari kepemimpinan.
Ibarat lari, kerja kepemimpinan, terlebih di DKI, bagaikan lari marathon, bukan lari cepat (sprint). Sehingga, penting untuk menjaga stamina sepanjang kepemimpinan. Dan yang terpenting pula Anies harus tetap mencerminkan diri sebagai pemimpin populis yang otentik dengan tetap mengutamakan keberpihakan terhadap rakyat kecil, sebagai nafas utama prinsip Keadilan Sosial yang termaktub dalam Sila Kelima Pancasila.
*Penulis adalah Alumnus Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Peneliti Junior CIDES Indonesia Bidang Kebijakan Publik, dan Aktivis Literasi Jak