REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Roy Rosa Bachtiar *)
Menang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016 setelah berhasil mengalahkan kandidat dari Partai Demokrat Hillary Clinton, Donald Trump pun resmi menjabat sebagai Presiden Ke-45 Amerika Serikat pada 20 Januari 2017. Dalam masa kampanyenya, Trump yang menjadi kandidat dari Partai Republik ini kerap menonjolkan kampanye yang bersifat agresif dengan jargon utamanya "Make America Great Again".
Pada awal kepemimpinan, presiden yang berlatar belakang seorang pebisnis itu pun mengeluarkan kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap komunitas Islam. Trump mengeluarkan kebijakan Perintah Eksekutif berupa larangan masuk bagi warga negara dari tujuh negara mayoritas muslim yakni Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libya selama 90 hari serta penundaan penerimaan pengungsi selama 120 hari.
Kebijakan tersebut turut berlaku bagi para pemegang Kartu Hijau atau "Green Card" dari ketujuh negara yang dimaksud. Keputusan yang ditandatangani Trump pada 27 Januari itu, juga mempengaruhi para pengungsi, menyebabkan banyak orang ragu apakah mereka dapat memasuki Amerika Serikat atau tidak.
Menurut pakar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Nur Rachmat Yuliantoro, kebijakan imigrasi Amerika Serikat yang dikeluarkan Presiden Donald Trump melalui perintah eksekutif sebetulnya merupakan upaya untuk menjaga basis pendukung. Dalam masa kampanye ia berjanji untuk meningkatkan keamanan, oleh karenanya agar bisa mempertahankan basis pendukung maka Trump berusaha mewujudkan janjinya tersebut.
Ketua Prodi Hubungan Internasional Fisipol UGM itu menjelaskan, meski pun dalam inagurasi Trump telah bersumpah akan menjadi pemimpin bagi seluruh warga negara Amerika, namun ia tetap berupaya untuk menjaga basis pendukung yang dia miliki. Akibat kebijakan tersebut, sejumlah negara-negara Barat seperti Jerman, Kanada, Prancis turut memrotes kebijakan itu.
Meski pun respons dari negara-negara lain terbilang keras, namun Rachmat berpendapat, hal tersebut tidak akan memengaruhi atau bahkan mengubah kebijakan itu secara mendasar. Bahkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menekankan, perlunya pengamanan perbatasan yang tidak diskriminatif, pernyataan yang secara luas dilihat sebagai kritik terhadap kebijakan Presiden Trump.
Guterres berpendapat, setiap negara memang memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk bertanggung jawab mengelola perbatasan mereka untuk menghindari infiltrasi oleh anggota organisasi teroris. Secara teori kebijakan semacam ini tidak bisa didasarkan pada bentuk diskriminasi apa pun yang terkait dengan agama, etnis, atau kebangsaan, karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental yang menjadi dasar bagi masyarakat, ujarnya.
Lebih jauh, perintah eksekutif ini pun dipandang telah melanggar Konstitusi Amerika. Dalam Konstitusi Amerika 1879 dikatakan bahwa 'that all men are created equal', artinya bahwa semua orang diciptakan sama, termasuk sama haknya.
Hak yang dimaksud dalam konstitusi tersebut adalah bahwa dalam ketentuan universal dikatakan setiap orang bebas berpindah ke tempat yang dikehendaki. Namun dengan adanya negara bangsa, yang dicirikan dengan perbatasan fisik secara jelas, maka setiap orang harus mengikuti peraturan perbatasan agar hak berpindahnya dapat terwujud.
Amerika dikenal sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi konstitusi, namun dengan adanya pelarangan orang masuk ke wilayah AS maka bisa dikatakan Trump telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi negaranya sendiri.
Status Yerusalem
Usai mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif di awal tahun, pada penghujung tahun ini Trump kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya menyinggung kalangan Muslim, namun juga menimbulkan protes keras dari negara-negara di dunia. Pada Rabu (6/12), Presiden Trump menyatakan pengakuan Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan berencana memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke kota yang menjadi lokasi suci bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi tersebut.
Yerusalem merupakan kota suci dan menjadi masalah sensitif dalam perundingan perdamaian serta menjadi topik utama pertentangan selama berpuluh-puluh tahun antara para perunding Palestina dan Israel. Pengakuan Trump itu mengundang kecaman dari seluruh dunia dan penentangan dari negara-negara Arab dan berpenduduk mayoritas Muslim serta mengecewakan negara-negara Barat termasuk sekutu dekatnya.
Pengakuan status Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel berpotensi membahayakan situasi keamanan di kawasan Timur Tengah. Tindakan Trump berpotensi menciptakan Timur Tengah yang semakin memanas dan negara-negara di kawasan itu pun kemungkinan akan kehilangan kepercayaan kepada AS sebagai perantara dalam proses perdamaian.
Muncul pandangan bahwa keputusan Trump tersebut tidak lepas dari janji di masa kampanyenya yang akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump melakukan hal tersebut untuk mempertahankan basis politiknya yang mulai rapuh karena sejumlah skandal yang melibatkan dirinya, khususnya soal hubungan ia dengan Rusia.
Selain itu ada juga pendapat bahwa keputusan Trump ialah sebagai ucapan "terima kasih" kepada lobi Yahudi di AS, khususnya pada Komite Hubungan Israel di Amerika atau AIPAC yang telah menggelontorkan dana dalam jumlah besar selama masa kampanyenya di Pilpres 2016. Meski ada banyak teori atau alasan mengenai sikap Trump tersebut, namun akhirnya akan berujung pada semakin buruknya ketidakstabilan situasi keamanan di kawasan tersebut.
Beda gaya kepemimpinan
Sehubungan dengan tidak mandirinya Trump dari lobi Yahudi pada jabatannya, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal pun menyoroti perbedaan kepemimpinan AS di bawah Barack Obama. Ia menuturkan, secara umum jalannya pemerintahan AS memang tidak lepas dari peran lobi kelompok Yahudi untuk melancarkan kepentingan mereka melalui kebijakan yang dikeluarkan AS sebagai negara adidaya. Namun, terdapat perbedaan dari gaya kedua pemimpin tersebut dalam menyikap lobi-lobi semacam ini.
Pada Obama, selama menjabat begitu terlihat ketidakinginannya untuk dikuasai oleh Yahudi, karena ia sadar bahwa lobi-lobi mereka sangat kuat di pemerintahannya. Obama tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan tidak ingin pemerintahannya dikendalikan oleh Israel.
Oleh karenanya, Obama sangat tegas jika membuat kebijakan yang berkenaan dengan upaya lobi Yahudi, ia mampu membedakan secara jelas mana yang salah dan mana yang sesuai dengan arah dan tujuan AS. Itu lah kenapa presiden kulit hitam pertama Amerika itu tidak populer dalam politik luar negeri Israel, tukas Dino, menambahkan.
Justru dengan sikap yang tidak ingin dikendalikan Israel itu lah, justru Obama sangat dihargai oleh banyak pihak dan seharusnya pemerintahan AS berjalan seperti itu serta memiliki kebijakan yang mandiri tanpa intervensi dari pihak luar.
Akan tetapi sikap penerusnya, yaitu Presiden Trump, terhadap kepentingan Israel sangat bertolak belakang. Disebutkan bahwa kebijakan Trump dibuat untuk memuaskan mereka yang berkepentingan, terutama para donor-donor. Oleh karenanya ada pandangan bahwa pemerintahan Amerika di bawah Presiden Trump lebih kepada "Israel First", bukan "America First"
*) Pewarta Antara