REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jejen Musfah, Ketua Magister MPI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Tim Ahli PB PGRI
Dai fenomenal itu bernama Ustaz Abdul Somad (UAS). Ceramah-ceramahnya viral melalui media sosial, seperti Youtube, Facebook, dan Whatsapp.
Ceramahnya yang renyah ditonton jutaan orang sehingga namanya melambung dan tawaran ceramah datang dari berbagai penjuru negeri sampai luar negeri. Masyarakat tertarik dan antusias mendengar siraman rohaninya secara langsung.
Sependek pengetahuan penulis, berikut kelebihan UAS yang membuatnya fenomenal. Pertama, UAS menguasai ilmu agama. Alumnus Al-Azhar Mesir dan Maroko bidang hadis ini adalah anggota MUI Riau, pengurus NU Riau, dan dosen hadis UIN Riau.
Dia adalah antitesis dai selebritas yang sering muncul di televisi, yang diragukan kedalaman ilmu agamanya. Jawaban spontannya terhadap pertanyaan-pertanyaan jamaah, menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmunya.
Kedua, intonasi dan pilihan kata (diksi) dakwah UAS lembut, tidak keras, dan tidak kasar. Dia tidak berapi-api dan mengalir alami sehingga sesuai selera banyak kelompok Muslim. Dakwah yang keras dan kasar cenderung tidak bisa diterima Muslim Indonesia.
Dia juga bersedia menjawab pertanyaan jamaah tentang persoalan keagamaan. Ketiga, UAS tidak mengejar dunia tapi akhirat. Dia (sampai saat ini) tidak pasang tarif. Meski sudah menjadi dai level nasional bahkan internasional.
Ia menyerahkan honor kepada kesanggupan panitia, bahkan (konon) rela tidak dibayar asal bisa berdakwah di tengah masyarakat.
Jam terbang tinggi, jadwal padat, dan honor tinggi menyebabkan dai-dai sebelumnya hanya milik kelompok muslim tertentu (elitis). Hanya masyarakat, pejabat, dan lembaga pemerintah berduit yang bisa mengundang dai yang pasang tarif tinggi. Padahal, dai itu milik umat, siapa saja, dan kalangan mana saja, yang membutuhkan pencerahan.
Keempat, UAS juga menjaga komitmen. Ia tidak mau membatalkan janji ceramah di tempat tertentu karena diundang pihak yang lebih penting (istana, misalnya) atau karena bayarannya lebih besar. Ia mementingkan menepati janji kepada umat daripada mengejar uang dan popularitas.
Kelima, kecuali lembut dan santai, ceramah UAS juga tidak membosankan karena lucu. Ia mampu membuat jamaah tertawa atau tersenyum.
Ia secara spontan mampu menyelipkan guyonan dalam ceramahnya, seperti Zainudin MZ dan Aa Gym. Selain materi ceramah berbobot penuh ilmu, menjawab persoalan riil masyarakat, guyonan yang tidak berlebihan diperlukan agar dakwah tidak membosankan dan membikin kantuk.
Popularitas UAS tidak lepas dari peran media sosial. Media cetak dan daring turut membesarkan UAS. Dia dianggap dai harapan baru umat dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.
Bobot ceramah dan gayanya menarik banyak media massa dan umat. Tiap-tiap masa ada tokohnya, mungkin inilah masanya UAS. Peluang ini harus dimanfaatkan UAS sebaik-baiknya. Umat membutuhkan dai yang sejuk, santun, sederhana, dan konsisten.
Dai yang dekat dan diterima semua golongan masyarakat. Dai yang mengabarkan Islam yang lembut, moderat, penuh cinta, mendukung NKRI, dan Pancasila. Perjalanan UAS dalam dakwah tidak akan mudah.
Jalan yang telah dan akan dilalui pasti terjal dan berliku. Fitnah mendukung khilafah, anti-NKRI dan Pancasila, tidak mendukung pemerintah, pendukung teroris, membuatnya dipersekusi dan ditolak di Bali dan dideportasi dari Bandara Hong Kong.
UAS juga batal tampil di Masjid Nurul Falah, Kompleks PLN Gambir, Jakarta Pusat (28/12/2017).Tahun politik 2018-2019 juga akan menguji konsistensi UAS dalam dakwah.
Popularitasnya bisa dimanfaatkan tokoh, ormas, atau partai politik tertentu untuk menaikkan elektabilitas. Dia sebaiknya tetap konsisten dalam gerakan dakwah, tidak menjadi partisan partai. Dia milik semua umat bukan golongan tertentu.
UAS juga harus bisa menundukkan ego dirinya. Saat ini masyarakat se-Indonesia mengelu-elukan, memuji, dan membanggakannya. Kultus masyarakat terhadapnya bukan hal mustahil-sesuatu yang pasti disadari dan tidak diinginkannya.
Ia harus bisa melewati fase berada di atas dan puja-puji ini agar tidak lupa diri dan terpuruk. Sebaliknya, UAS tidak boleh mundur dari gelanggang dakwah hanya karena takut kalah atau lupa diri.
Sebaliknya, ia harus tetap melanjutkan perjalanan panjang dakwah ini dengan tetap tawadhu sehingga banyak masyarakat tercerahkan. Ini baru fase awal dakwah UAS, fase-fase berikutnya akan lebih menantang sekaligus penuh tantangan.
Tantangan terakhir UAS adalah keseimbangan sebagai dosen dan dai. Dia saat ini jauh berbeda dengan yang dulu. Ia tidak lagi milik kampus UIN Riau tapi milik umat Islam Indonesia dan dunia. Waktu ceramahnya padat dan dari Sabang sampai Merauke.
Lelah, pasti. Meski demikian, ia harus tetap mengajar dan mendidik mahasiswa agar bisa mewariskan ilmunya yang luas. Popularitas dai ada masa dan batasnya, tetapi menjadi dosen tiada ada batasnya.
Dengan mengajar di kampus, siapa tahu kelak lahir muridnya yang meneruskan jejak dakwah lisannya. Di kampus, UAS bisa mencetak kader-kader ulama masa depan.
Popularitasnya saat ini adalah hanya bonus tambahan dari hasil ketekunan dan kerja kerasnya selama ini. Semoga Allah memberikan kesehatan dan umur panjang kepada dosen, ulama, dan dai ini sehingga umat Islam menjadi panutan penghuni bumi.