REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Zulifan, Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia.
Hingga kini, tema Islam dan demokrasi masih menjadi isu sentral masyarakat Indonesia, terutama menjelang pelaksanaan pemilu dan pilkada. Demokrasi masih diragukan kehalalannya hingga masyarakat menganggap tidak perlu berpartisipasi dalam pemilu dan pilkada.
Alasan utama penolakan tersebut karena demokrasi dinilai tidak membawa kepada peningkatan kesejahteraan. Alasan kedua karena persoalan teologis. Demokrasi sebagai sesuatu yang haram dalam Islam dan patut diwaspadai.
Demokrasi juga ditolak karena efektivitasnya terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik politik uang dan kronisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung.
Sikap tersebut tentu tidak menambah maslahat sedikit pun karena pemimpin Indonesia pasti tetap akan terpilih meski sebagian besar umat Islam 'golput'. Justru tugas umat Islam untuk menjadikan pemimpin yang terpilih tersebut sesuai dengan kriteria Islam.
Persoalan mendasar dalam melihat hubungan Islam dan demokrasi adalah keyakinan bahwa Tuhanlah yang berkuasa mutlak (QS Ali Imran: 26), meski menurut John L Esposito penolakan pada demokrasi tersebut lebih karena faktor Barat kolonial yang sekuler.
Bukan penolakan pada demokrasi secara keseluruhan. Meski sebenarnya dalam diri manusia terdapat kekuasaan temporal dari Tuhan, seperti ayat tentang manusia sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah: 30) dan ayat-ayat free will (al-Kahfi: 29 dan ar-Ra’d: 11).
Substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme (Yusuf Qaradhawi, 1997). Dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat.
Prinsip demokrasi dalam Alquran begitu kuat, yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi. Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS al-Baqarah: 258 dan ad-Dukhan: 31).
Pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek (QS al-Qashash: 8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah/ (QS al-Baqarah 256, Huud: 118 Yunus: 99).
Argumen lain bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam adalah legislasi tidak berarti penentangan terhadap hukum Tuhan.
Sebab, legislasi di parlemen dalam persoalan yang belum jelas aturannya dalam syariah; multipartai dalam sistem demokrasi merupakan kelembagaan yang akan menghindari kezaliman, dan yang dimaksud kemultian dalam arti jenis dan spesifikasi, bukan perselisihan.
Larangan meminta kekuasaan seperti disebut dalam hadis adalah dalam konteks ambisius dan rakus. Pencalonan sebagai bagian dari sistem demokrasi dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf dan Sulaiman.
Lebih lanjut, Islam mengenal sistem penerimaan rakyat yang disebut baiat. Kata Nabi, “Ada tiga orang yang shalatnya tidak terangkat sejengkal pun di atas kepalanya….pertama, orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedangkan mereka membencinya.” (HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat aspiratifnya. Suatu negara dikatakan demokratis sejauh ia mencerminkan aspirasi rakyatnya.
Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan (agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).
Benar, Alquran memuat segala hal tetapi hanya aspek etik, mengingat Alquran dalam aspek-aspek sosial hanya membicarakan prinsip-prinsipnya, yakni ‘adl (keadilan), syura (musyawarah), musawah (persamaan).
Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam, misalnya prinsip amar ma’ruf nahyi munkar (QS Ali Imran: 104). Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dikatakan, jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang zalim.
Di samping itu, terdapat jaminan kebebasan berpendapat (QS as-Syura: 38, Annisa: 59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah: 2, al-Mujadilah: 22, dan kebebasan beragama dalam QS al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99.
Hal itulah yang menyebabkan Al-Maududi (1990) dengan konsep teo-demokrasinya menyatakan, ada kemiripan antara demokrasi dan Islam. Bedanya, dalam sistem politik di Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan mutlak.
Dalam demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan hukum Ilahi.
Suatu negara yang didirikan atas dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengannya (Alquran dan hadis) sekalipun rakyat menuntutnya. Misalnya, kasus UU yang membolehkan minuman keras di negara sekuler, tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam.
Namun, tidak berarti sistem pemerintahan Islam mengebiri potensi rasional manusia untuk masalah administrasi dan persoalan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam syariat.
Hal semacan itu dapat ditetapkan berdasarkan konsensus di antara kaum Muslimin yang memiliki kualifikasi. Sistem Islam usulan Al-Maududi ini mengambil jalan moderat di mana kedaulatan rakyat dibatasi kedaulatan Tuhan lewat syariat-Nya.
Sikap komprehensif
Ayat pertama yang turun menyuruh umat Islam menggunakan potensi otak dalam berpikir, yakni membaca dan menganalisis seluruh fenomena yang ada untuk selanjutnya menyintesisnya menjadi sikap kehidupan.
Alangkah baiknya, sebelum menentukan sikap politik, terlebih dahulu pelajari disiplin ilmu sosial, politik, hukum, termasuk antropologi, sejarah, dan ilmu budaya.
Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di mana umat Islam bebas memilih sistem mana yang terbaik.
Dalam Alquran dan sunah, tidak terdapat prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Karena itu, empat khalifah periode awal dibaiat masyarakat di masjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan.
Nabi sendiri membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Sebagaimana disinggung Fazlur Rahman, sesuai prinsip yang disebut Alquran dan hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis.
Masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstremitas serta ulil amri (penguasa) tidak menerima konsep elitisme ekstrem.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang inklusif, saling berbuat baik dan bekerja sama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Syuro tidak berarti satu pihak meminta nasihat kepada pihak lain sebagaimana dahulu terjadi antara khalifah dan ahlu halli wa al-‘aqdi, melainkan nasihat timbal balik melalui diskusi bersama.
Namun, demokrasi yang dimaksud Fazlur Rahman adalah yang berorientasi pada etika dan nilai Islam, tidak bersifat material layaknya demokrasi di Barat.