Jumat 05 Jan 2018 05:02 WIB

Anies-Sandi dan Kebijakan Street-Market di Tanah Abang

Suasana warga yang melihat-lihat barang distan pedagang kaki lima (PKL) di Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (25/12).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Suasana warga yang melihat-lihat barang distan pedagang kaki lima (PKL) di Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (25/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Ridzki Wibowo *

Baru-baru ini, masyarakat Jakarta dikagetkan oleh kebijakan Anies-Sandi tentang penataan ulang jalur Tanah Abang. Daerah yang hampir selalu mengalami perubahan dengan bergantinya Gubernur ini memang daerah strategis yang ramai dikunjungi masyarakat. Layaknya peribahasa, ada gula ada semut, ada keramaian ada pula pedagang jalanan.

Pada masa Gubernur Jokowi, pedagang kaki lima (PKL) direlokasi ke blok G sehingga tidak ada lagi yang berjualan di trotoar. Akan tetapi hal ini tidak bertahan lama. PKL mengeluhkan sepinya pembeli di blok G. Dalam ilmu manajemen, ini berarti terjadi kesalahan memilih lokasi. Setelah Jokowi menjadi RI 1, PKL pun kembali berdagang di trotoar.

Pada masa Ahok, dilakukan pendekatan represif. Satpol PP dibuat seperti singa yang menerkam mangsa dalam melakukan razia terhadap PKL. Pendekatan ini efektif, karena PKL takut barang dagangannya disita. Namun efek negatif sosial ekonomi yang ditimbulkannya sangat banyak.

Anies-Sandi mengambil langkah yang unik dan kreatif. Alih-alih memindahkan PKL dari trotoar, mereka membolehkan sebagian area dari jalan Jatibaru Raya untuk PKL berdagang. Mereka mengubah lalu lintas di kawasan Tanah Abang.  Singkatnya, mereka membuat street market.

Beberapa pihak mempertanyakan langkah tersebut. Ada yang memang karena sejak awal secara politik tidak suka Anies-Sandi. Ada yang karena kurang paham. Ada juga sebagian masyarakat Tanah Abang yang tidak setuju karena menganggap langkah ini merugikan mereka.

Akan tetapi, mari kita belajar dari pengalaman New York pada tahun 2003. Saat itu Walikota New York, Michael Bloomberg, mengeluarkan larangan merokok di dalam bar. Reaksi negatif muncul dari berbagai pihak. Pemilik bar menentang karena khawatir pemasukan mereka semakin anjlok. Para perokok pun tidak menyukai diskriminasi yang dilakukan terhadap mereka.

Bloomberg menanggapi, "Kalian mungkin membenci keputusanku. Akan tetapi kalian akan berterimakasih kepadaku 20 tahun kelak.” Hasilnya? Para perokok menyukai keputusan tersebut. Mereka bisa merokok bersama di luar ruangan. Pengunjung bar juga senang karena bar tidak lagi berbau rokok. Bar tanpa rokok kini sudah menjadi norma baru yang diterima semua elemen masyarakat di sana.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyadari hal positif dari keputusan tersebut? Peneliti Elke Weber mengatakan, biasanya butuh waktu sekitar 6-9 bulan bagi masyarakat untuk menerima perubahan yang pada awalnya tidak populer.

Penulis menilai, langkah Anies-Sandi ini sebenarnya berpotensi menyulap Tanah Abang menjadi street market yang menarik perhatian turis. Sama seperti street markets di kota-kota dunia seperti London, Sydney atau Hong Kong.

Di Hongkong misalnya, pemandu wisata atau warga lokal sering menyarankan turis mengunjungi street markets seperti Temple street dan Ladies Market. Jalanan yang dipenuhi oleh PKL tersebut tertata rapi, bersih dan nyaman. Turis dan warga lokal ramai berkunjung karena dapat berbelanja berbagai barang / suvenir dengan harga murah. Street markets di negara-negara lain juga demikian, ramai dikunjungi turis dan warga lokal.

Karena itu, penulis mengajak semua lapisan masyarakat untuk tidak terburu-buru mencap langkah di atas sebagai kegagalan. Apalagi sampai melakukan ujaran kebencian. Malah sebaiknya, mari bersama-sama menjadikan Tanah Abang sebagai street market berkelas dunia.

 

*M. Ridzki Wibowo

Penulis adalah Master of Science in Management, lulusan National University of Singapore (NUS)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement