REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iswandi Wahab *)
Tulisan ini merupakan refleksi karena melihat kondisi dunia yang semakin bergejolak atau kacau pada saat ini. Fenomena yang terjadi berupa berbagai macam persoalan seperti pertikaian, penindasan suatu komunitas etnis atau agama, kelaparan, peperangan, hilangnya moral, pernikahan yang umurnya beda usia, lesbian, gay, bioseksual, dan transgender (LGBT) serta fitnah yang merajalelah.
Realitas kekacauan yang ada sekarang, seakan-akan menjadi bahan tamparan keras terhadap kita dan memicu munculnya sebuah pertanyaan apa yang salah dalam proses hidup dan berkehidupan kita sekarang ini? Dalam proses berkehidupan, tentunya, manusia tidak terlepas dari interaksi antara sesama dalam suatu komunitas sehingga membentuk suatu sistem tatanan sosial yang baik ditengah masyarakat.
Pembahasan ini terfokus pada tiga hal substansial terkait persoalan moral, LGBT, dan flashback sejarah kaitanya dengan kekacauan di masa kini. Rusaknya generasi muda saat ini ditandai dengan mulai lunturnya nilai-nilai moral yang berawal dari hilangnya pikiran akal sehat, hingga berujung pada seks bebas, budaya malu, minum minuman keras, merokok, dan narkoba.
Selain kasus LGBT, masalah seks bebas dikalangan remaja Indonesia juga sangat mengkhawatirkan disepanjang tahun 2017. Masalah seks bebas ini kian mengkhawatirkan karena makin banyak jumlah bayi yang baru dilahirkan dibuang dijalanan.
Menurut data Indonesia Police Watch (IPW) mencatat, di sepanjang 2017 ada 178 bayi yang baru dilahirkan dibuang di jalan. Jumlah ini naik 90 kasus dibandingkan 2016 (ada 88 bayi yang dibuang). Dari 178 bayi itu, sebanyak 79 bayi di antaranya ditemukan tewas dan 10 bayi (janin) yang belum masanya lahir dipaksakan untuk dikeluarkan atau digugurkan dan dibuang di jalan. Sementara yang hidup dan diselamatkan warga, puskesmas, juga pihak kepolisian ada sebanyak 89 bayi.
Sedangkan data dilansir dari (www.karawangtoday.com) data LGBT di Kabupaten Karawang menyebutkan, sedikitnya 872 orang perilaku menyimpang dari kalangan pria atau yang biasa disebut Gay, terpetakan di karawang. Bahkan 51 di antaranya merupakan penderita HIV AIDS. Perilaku seks menyimpang ini juga merupakan penyumbang HIV-AIDS terbesar.
Menurut data Kementerian Sosial mencatat angka penderita HIV-AIDS (ODHA) yang ada di Indonesia sudah sangat memprihatinkan yakni lebih dari 276 ribu orang. Data menunjukan “Jumlah ini tercatat di kemensos yang terdiri dari 198 ribu orang lebih menderita HIV, dan 78 orang lebih menderita AIDS. Totalnya mencapai 276 ribu orang di Indonesia menderita atau mengidap HIV-AIDS,” kata Kementerian Sosial Khofifah Indar Parawansa di Bekasi (www.kbknews.id).
Provinsi Jawa Barat sendiri, masuk ke dalam lima besar populasi pengidap HIV-AIDS se-Indonesia. Perilaku lelaki suka lelaki (LSL) atau gay penyumbang penderita HIV terbanyak. Dari data yang didapat Dinkes Jabar dari sejumlah fasilitas kesehatan, jumlah pengidap HIV sejak 1989 hingga 2017 mencapai 37 ribu lebih. Sementara pengidap AIDS mencapai 8.925 orang (detik.com).
Pengaruh kerusakan moral dan lainnya, disebabkan oleh kemajuan teknologi, pengaruh lingkungan, hilangnya kejujuran, rendahnya disiplin, hilangnya rasa tangung jawab, dan memudarnya kualitas keimanan. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh tingal diam atas perilaku amoral ini. Jika dibiarkan mau dibawa kemana negeri ini jika tonggkat estafet generasinya mengalami degradasi moral.
Persoalan yang terjadi patut kita sadari bahwa setiap masa dan zaman pasti akan memiliki tantangan dan beban yang semakin berat. Sehinga, hal ini, jika tidak disikapi dengan wawasan dan pola pikir yang baik maka akan memicu kekacauan dimana-mana.
Fenomena dan permasalahan di atas jika dicermati dan dihayati, maka muncul suatu analisa mendalam bahwa usia dunia semakin menua sehingga berefek pada kehancuran moral dan tingkah laku manusia yang makin aneh. Kesalapahaman manusia hadir dalam memandang, menanggapi persoalan hidup dan kehidupan.
Artinya bahwa manusia sekarang di era millenial beranggapan bahwa di jaman demokrasi sekarang adalah jaman demokrasi. Manusia punya hak untuk mengemukakan pendapat dan menentukan jalan hidup sendiri. Dan bahkan terserah mau berbuat apa saja sesuai kehendaknya.
Hal ini tentunya menjadi paradoks jika tidak dibarengi dengan suatu kematangan berpikir dan analisa yang mendalam, agar tidak mencederai nilai demokrasi. Sebab, jika kita mengangap siapa saja berhak melakukan suatu sesuai kehendak atau pendapatnya karna dengan dalil atas dasar demokrasi, maka cara pandang ini adalah cara pandang yang salah, dikarenakan boleh jadi “kebebasan yang tak terkendali akan menghasilkan watak masyarakat yang tak sehat”.
Hal ini jika kita bersandar pada pesan agama, sebagai mana sesuai sabda Rasullullah shallallahualaihi wa alihi wasalam: “sunguh bumi ini akan dipenuhi oleh kezaliman dan kesemena-menaan. Dan apabila kezhaliman dan kesemena menaan telah penuh, maka Allah akan mengutus seorang laki-laki yang dari ummatku (keturunanku), namanya seperti namaku. Maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kemakmuran”.
Dari sabda di atas, Nabi Muhammad bersabda, "nanti pada suatu saat bumi ini akan penuh dengan kerusakan, fitnah, (kezaliman) dan sikap kesemena-menaan. Karena manusia akan saling membunuh dan tidak perduli lagi dari mana harta atau rejeki yang dia dapatkan. Sampai pada tiba munculnya seorang pemimpin bernama “Al Mahdi”.
Pola pikir dan sikap yang semena-mena menandakan bahwa kita lebih mengedepankan kesombongan ketimbang kebajikan. Sikap kesombongan membawa kita jauh dari kebenaran dan selalu merasa benar dalam segala hal. Kesombongan juga dapat menutup mata hati kita sehingga tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Maka dari itu dibutuhkan suatu prinsip yang mengedepankan sikap “pintar merasa” ketimbang “merasa pintar” perlu digalakan.
Pemodelan sikap dalam berpikir seperti ini diharapkan dapat mendorong suatu efek positif pada wawasan masyarakat dalam menilai dan mencermati sesuatu permasalahan. Jika nilai sikap “merasa pintar” lebih besar dalam diri seseorang maka dia dapat berbuat suatu keputusan atas dasar kesombongan dan kesemenamenaan, tetapi jika nilai dan sikap “pintar merasa” lebih besar, maka keputusan yang dibuat penuh dengan kebijaksanaan.
Sementara itu, persoalan LGBT juga menjadi suatu isu yang sangat ramai dibicarakan terkait sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan untuk mengkriminalisasi (LGBT). Persoalan ini muncul seakan-akan meberikan sebuah nasehat kepada kita sebagai bangsa yang besar, bahwa jangan sekali kali melupakan sejarah. Sebab sejarah adalah sebuah kontinuitas, hari ini kita ada dikarenakan adanya hari kemarin.
Begitu banyak persoalan yang muncul sekarang ini, tidak terlepas dari persamaan cerita sejarah masa lalu. Sama halnya dengan persoalan LGBT, maka belajarlah dari “sejarah Nabi Luth dan kaum Sodom”. Sejarah menceritakan dan mengarahkan kita pada pembelajaran tentang kisah Nabi Luth dengan kaum Sodom. Penduduk kota Sodom memiliki akhak yang sangat buruk, berbuat maksiat, mencuri dan diperparah lagi dengan perbuatan homo seksual. Perbuatan homoseksual sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan kodrat alam. Atas sikap dan prilaku inilah kaum nabi luth mendapat azab dari Allah SWT, akibat tidak mendengarkan seruan Nabi Luth.
Kesombongan dan kedurhakaan telah menutupi mata hati kaum Sodom sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Mereka menentang seruan nabi luth dan mengatakan bahwa berhentilah seruanmu wahai luth, jika tidak kami akan mengusirmu. Hal ini mereka lakukan atas dasar sikap semena-mena dan mengangap bahwa Nabi Luth hanya seorang pendatang. Kesombongan dan kebutaan ini akhirnya memukul diri mereka sendiri, sehinga kaum Sodom ditengelamkan oleh azab tuhan (Allah SWT).
Kisah Nabi Luth dan kaum Sodom diceritakan agar bisa menjadi pembelajaran bagi setiap manusia bahwa proses kehidupan tidak bisa terlepas dari sejarah masa lalu. Dan bahkan hal ini juga pernah disampaikan oleh “The Founding Father” kita Bapak Ir. Soekarno yang menyatakan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menghargai akan sejarah. Sejarah juga merupakan bagian dari “ingatan” apa jadinya kita manusia tanpa “ingatan”. Semoga sejarah meberikan kita arti dari makna kehidupan yang sebenarnya.
Terlepas dari persoalan di atas, sikap semena-mena juga terjadi di wilayah timur tengah melalui peperangan yang tiada pernah berhenti. Peperangan yang terjadi di timur tengah tidak terlepas dari sifat haus akan kekuasan dan penguasaan sumber daya alam (minyak). Adanya hasrat (nafsu) yang besar dalam diri penguasa atau kelompok tertentu dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu tanpa melihat nilai kebenaran dan keburukan. Pengabaian nilai kebenaran (moral) inilah yang memicu sikap semena-mena dan berakhir pada fitnah yang meraja lelah.
Peperangan yang terjadi di wilayah timur tidak terlepas dari isu provokasi yang dimainkan oleh kelompok tertentu agar mereka dapat menguasai dunia dan sumber daya alam (minyak). Hal ini terkait isu teroris dan penggunan senjata nuklir yang di kembangkan bahkan di tuduhkan pada beberapa negara salah satunya Irak. Dan mirisnya, ketika isu profokasi di tuduhkan ke suatu kelompok atau negara hingga persoalan berakhir pada invasi atau perang yang terjadi malah munculnya sikap arogansi dan main hakim sendiri yang berujung pada penembakan warga sipil, bahkan salah pengemboman terhadap warga yang akhirnya mengorbankan banyak ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa.
Hal ini tentunya secara jelas melanggar HAM (hak asasi manusia) dan mencederai hakekat dari proses hidup dan berkehidupan. Sesuatu diluar nalar, jika suatu peperangan yang digencarkan dengan dalil meruntuhkan suatu kelompok atau rezim, namun justru masyarakat sipil menjadi korban peperangan. Sebuah perumpamaan jika “ada tikus didalam sebuah rumah, maka tangkap saja tikusnya jangan rusak rumahnya”. Tindakan semena-mena/brutal dan anarkis ini sudah dapat di indikasikan bahwa selain invasi perang, ada skenario yang sengaja dimainkan oleh kelompok tertentu dalam menjalankan misi terselubung didalamnya.
Kekacauan yang terjadi di dunia sekarang ini memberikan suatu pelajaran kepada kita bahwa ada hikmah dibalik itu. Bukankah sesuatu yang terjadi dibumi ini bukan tanpa kebetulan tetapi sudah menjadi bagian dari ketetapan sang pencipta (Illahi). Jika dilihat dari rentetan permasalahan yang terjadi didunia saat ini maka, terdapat persoalan yang kompleks dan saling mengfitnah yang merupakan motif utama dari permasalahan.
Sehingga kemudian apakah ini bisa disimpulkan bahwa terkait dengan tanda akhir zaman atau kemunculan “Imam Mahdi” (walahuallam). Terkait dengan berbagai fenomena dan kejadian diatas, jika kita mencoba untuk flashback kembali untuk menengok di kisah para nabi dan sejarah masa lalu khususnya sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa as di masanya. Dimana kita dapatkan bahwa ada suatu pembelajaran yang memiliki kemiripan dengan fenomena sekarang ini.
Pada masa sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW, kondisi dunia saat itu sedang kritis dan terjadi kekacauan dimana mana atau dikenal dengan jaman jahiliyah. Begitupun pada Nabi Musa AS dimana sebelum beliau lahir, kaumnya selalu berbuat kemaksiatan dan kehancurahn di duniamuka bumi. Sehingga pada akhirnya muncul para nabi pembawa risalah.
Berbeda pada masa Nabi Muhammad, pada masa Nabi Musa kondisi waktu itu yang dapat menjanjikan kemewahan, jabatan, harta, mobil, rumah yang megah, makanan yang enak dan uang yang banyak hanya raja Firaun. Sedangkan Nabi Musa tidak punya apa-apa hanya bermodalkan tongkatnya. Dan di saat tiba masanya penyampaian risalah, Nabi Musa hadir dan mengatakan bahwa "saya adalah nabi pembawa kebenaran maka ikutlah saya agar kalian selamat dan berada pada jalan yang benar". Disaat itu kaum bani Israil hanya sebagian yang mengiktui Nabi Musa, sementara lainya tidak.
Dari proses cerita di atas dan kemudian berdasarkan gejolak kekacauan yang terjadi saat ini, apabila seandainya tiba masanya kehadiran “Imam Mahdi” yang datang tidak punya apa-apa, tidak punya mobil, tidak punya uang, rumah mewah, bahkan HP, lalu beliau mengajak kita untuk ikut dengannya, maka yang menjadi pertanyaan dimana posisi kita pada saat itu? Apakah ikut dengan “Imam Mahdi” ataukah malah tidak mengikuti dan kemudian tersesat (Wallahualam). Perumpamaan di atas dilandasi berdasarkan dengan realitas yang ada sekarang ini, dimana cara pandang manusia pada masa kini lebih padang siapa jabatanya, apa usahanya dan lainya (duniawi).
Padahal, agama dengan tegas mengatakan jangan lihat siapa orangnya, tapi lihat apa yang ia sampaikan dan bicarakan. Bahkan pribahasa Inggris mengatakan “Don’t judge the book by the cover”. Tentunya realitas sekarang berbeda, dimana orang lebih memandang seseorang dari sisi duniawi dan mengabaikan sisi moral dan sosialnya.
Kisah para nabi dan gejolak yang diceritakan di atas untuk mengevaluasi proses perjalanan hidup kita yang sampai pada saya ini, lupa akan hakekat dan pesan moril dari bagaimana proses hidup dan berkehidupan sebenarnya. Semoga cerita dan perumpamaan di atas menjadi stimulan bagi kita untuk kembali berbenah diri (introspeksi) dan kembali pada jalan yang benar dan hakiki.
*) Mahasiswa Pascasarjana IPB, pengurus FORMAPAS Malut Sejabodetabek & PKPL Maluku Utara