Rabu 10 Jan 2018 07:16 WIB

Ketika Allah Membayar Kontan Doa dan Sedekah

H Buchori Tamam
Foto: Lukman Hakiem
H Buchori Tamam

Oleh: Lukman Hakiem, peminat sejarah dan mantan anggota DPR RI.

DALAM kehidupan kita di dunia fana ini, selalu terdapat peristiwa-peristiwa yang acap kita anggap sebagai "kebetulan". Tentu saja "kebetulan" yang membahagiakan.

Dua kisah berikut ini, berasal dari pengalaman H. Buchari Tamam (1922-1994) seperti diceritakan dalam biografinya yang terbit pada 1992.

Penggerak Muktamar Ulama

Buchari Tamam adalah seorang aktivis sejak masa penjajahan Belanda. Di akhir masa Belanda,  Buchari turut dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Di masa Jepang,  Buchari aktif dalam Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) Sumatera Tengah.

Nama Buchari tercatat sebagai penggerak Muktamar Alim Ulama se-Sumatera di Bukittinggi. Melalui Muktamar itu, Buchari mempertemukan dua ulama besar panutan umat,  yaitu Syaikh Ibrahim Musa Parabek (Masyumi), dan Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli (Perti).

Sukses dengan Muktamar Alim Ulama se-Sumatera, Buchari bergerak menyelenggarakan Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang pada 8-11 September 1957.

Pembukaan Muktamar Ulama se-Indonesia, ditandai dengan Pidato Iftitah Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli yang antara lain mensinyalir betapa sesudah 12 tahun Indonesia merdeka yang terjadi ialah "Kemerdekaan berebut kursi,  kemerdekaan menggunakan lisensi menurut kemauan mereka saja,  dan kemerdekaan meninggalkan sila pertama dasar negara kita yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa."

Di antara keputusan Muktamar Ulama se-Indonesia itu,  di bidang kenegaraan: (1). Haram hukumnya umat Islam diperintahi oleh kaum komunis,  (2). Menyatakan agar Musyawarah Nasional --yang saat itu sedang berlangsung di Jakarta-- mengganti kabinet dengan kabinet tanpa komunis dan meniadakan Dewan Nasional, (3). Menyatakan penyesalan atas sikap Presiden Sukarno yang telah menurutsertakan kaum komunis dalam pemerintahan Dewan Nasional.

Buchari Tamam dipilih menjadi Sekretaris Jenderal Muktamar.

Sejak 1967 hingga akhir hayatnya, Buchari memegang amanah sebagai Sekretaris Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, mendampingi M. Natsir (1908-1993) sebagai Ketua.

Mendukung Dewan Banteng

Sudah sejak tahun 1952, masyarakat di Sumatera Tengah (sekarang Sumatera Barat) merasakan ketidakadilan dan kepincangan antara pusat dan daerah. Pembangunan terlalu dipusatkan di Jawa.

Perasaan tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat tidak hanya bergejolak di kalangan masyarakat sipil,  tetapi juga di kalangan tentara. Tentara di daerah merasa dianaktirikan.

Ketidakpuasan bertambah ketika orang-orang komunis makin dekat dengan kekuasaan. Presiden Sukarno sangat memberi angin kepada komunis.

Kalangan militer mulai tidak sabar melihat ketidakadilan, krisis moral,  dan merebaknya komunisme. Gerakan daerah muncul menuntut keadilan, kabinet tanpa PKI,  dan pulihnya Dwitunggal Sukarno-Hatta.

Ketika itulah tentara membentuk Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Banteng di Sumatera Tengah, dan Dewan Gajah di Sumatera Utara. Kalangan sipil ikut dalam gerakan tersebut,  tetapi bukan sebagai pemeran utama.  Pemeran utamanya tetaplah tentara. Buchari mendukung Dewan Banteng.

Tiga Tuntutan Dewan Perjuangan

Konflik daerah dengan pusat makin panas.  Pada 10 Februari 1958, Ketua Dewan Perjuangan Letnan Kolonel Ahmad Hussein mengumumkan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat sebagai hasil sidang Dewan Perjuangan.

Tiga tuntutan itu ialah: Pertama, Kabinet Djuanda --yang dibentuk oleh warga negara bernama DR Ir. Sukarno-- diminta mengundurkan diri dalam waktu lima hari sesudah pengumuman ini. Kedua, Presiden Sukarno diminta memberi mandat kepada Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk kabinet baru,  yaitu suatu zaken kabinet yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka, cakap, disegani, dan antikomunis.

Ketiga, kalau dalam 5 X 24 jam tuntutan ini tidak dilaksanakan, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijaksanaan sendiri dan menganggap dirinya "terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara."

Keesokan harinya Perdana Menteri Djuanda mengumumkan penolakannya terhadap tuntutan Dewan Perjuangan. Djuanda memerintahkan KSAD Jenderal Nasution untuk memecat Letkol Ahmad Hussein. Hubungan udara dengan Sumatera Tengah distop.

Baik pemerintah pusat maupun Dewan Perjuangan rupanya sudah sampai pada titik tidak bisa mundur lagi (point of no return).

Sesudah lima hari berlalu, Dewan Perjuangan menyatakan tidak mengakui Kabinet Djuanda dan membentuk kabinet baru dengan Perdana Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Lahirlah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pada 16 Februari 1958, Presiden Sukarno yang baru datang dari lawatan ke luar negeri, mendukung penuh kebijakan Djuanda.  Konfrontasi tidak terelakkan lag! Maka ,

Buchari Tamam mendukung PRRI dan selama tiga tahun keluar-masuk hutan.

Birrul Walidain

Ketika PRRI sudah terdesak, Buchari tinggal di satu desa kecil,  Batu Kambing,  Lubuk Basung,  sekitar 60 kilometer dari Bukittinggi. Buchari memboyong seluruh keluarganya --ayah,  ibu, istri, dan anak-anak-- ke desa kecil itu.

Di Batu Kambing, hari pasarnya ialah Sabtu. Setiap Jumat,  istri Buchari bersiap pergi ke pasar,  berbelanja untuk bekal satu pekan.

Pada suatu Kamis, Buchari tidak punya uang. Bahan makanan pun habis. Buchari gelisah!  Bukan soal ketiadaan makanan yang dia kuatirkan,  melainkan keadaan orang tuanya yang sedang sakit.

Sebagai orang tua yang sedang sakit,  mereka sangat peka terhadap perubahan sekecil apapun. Buchari takut,  jika kedua orang tuanya tahu,  hari Sabtu istrinya tidak ke pasar,  mereka akan terguncang dan panik yang dapat berakibat memperparah penyakit keduanya.

Tengah hari,  seusai shalat Dzuhur di atas sebuah batu besar,  Buchari berdoa sambil menangis. Menangis karena cinta kepada ayah dan ibu. "Ya Allah, jangan sampai besok orang tua saya panik karena istri saya tidak ke pasar," doa Buchari singkat.

Belum lagi Buchari bergeser dari batu,  terdengar suara memanggil namanya. Buchari bergegas menemui orang yang memanggilnya. Kiranya staf M. Natsir,  Menteri Agama PRRI. "Pak Buchari,  ini ada kiriman dari Pak Natsir."

Buchari menerima kiriman itu,  dan membukanya. Ternyata uang beberapa ratus ribu rupiah.

Doa tulus Buchari untuk ayah dan ibunya dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Di lain peristiwa, Buchari dipanggil oleh M. Natsir. Ditemani seorang teman,  Buchari berangkat berbekal uang lima puluh rupiah.

Di tengah perjalanan, Buchari "dihadang" seorang teman. Teman itu mengenalkan seorang lelaki tua yang sedang sakit,  dan baru saja ditinggal mati oleh istrinya. "Pak Buchari,  tolonglah pikirkan bapak tua dengan anaknya ini," ujar sang teman.

Buchari bimbang. Uang di tangan hanya lima puluh rupiah,  sedangkan orang tua itu harus dibantu.  Akhirnya uang itu dibagi dua.  Rp 25,00 dia serahkan kepada bapak tua yang sedang sakit itu,  sisanya dia bawa sebagai bekal. Sesudah itu Buchari melanjutkan perjalanan dengan dada terasa lapang karena telah membantu orang yang harus dibantu.

Belum jauh berjalan,  dari atas bukit terdengar suara memanggil Buchari. Seorang utusan Sjafruddin datang. "Pak Sjaf kirim uang," kata utusan itu. "Untung kita bertemu di sini sehingga saya tidak perlu bersusah payah pergi ke tempat Pak Buchari," kata utusan itu lagi.

Sesudah sang utusan pergi, Buchari membuka amplop kiriman. Ternyata Rp 500,00.

Allah subhanahu wa ta'ala membalas sedekah Buchari dua puluh kali lipat. Kontan!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement