REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizky Fajrianto *)
Belum lama ini, publik dihebohkan dengan kejutan dari Presiden Joko Widodo yang tampil santai saat meresmikan kereta Bandara Soekarno-Hatta. Bagaimana tidak, sosok Kepala Negara mengenakan kaus merah lengan panjang, celana jeans hitam, dan sepatu kets berwarna merah dalam agenda kerjanya.
Penampilan Presiden yang akrab disapa Jokowi itu tampak kontras dengan para menteri dan pejabat lain yang hadir. Para pejabat yang mendampingi Jokowi kebanyakan mengenakan batik lengan panjang atau kemeja putih. Mereka antara lain Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Wiranto, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, serta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Ada juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.
Menurut penulis, rasanya kurang tepat jika sosok Kepala Negara berpenampilan santai dalam agenda formal kenegaraan. Sebab bagaimanapun, memakai kaus dalam bekerja itu tidak sopan. Ini kalau kita melihat orang berkantor, kerja lapangan, dan kedinasan. Sulit rasanya kita menemukan mereka menggunakan kaos.
Di era globalisasi, etiket dan netiket layak kita perhatikan. Etiket berlaku dalam pergaulan sehari-hari dan dalam pekerjaan. Sedangkan netiket merupakan sopan santun pergaulan di dunia maya. Tata cara dan sopan santun ini perlu dipahami benar agar kita bisa menempatkan diri di mana pun berada. Mulai dari impresi diri, cara berpakaian (dress code), cara menyapa/berkenalan, relasi antara pria dan wanita, etika bertelepon, termasuk cara bersantap yang baik (Maruline Pane, 2016).
Selain dari sisi penampilan, hal lain yang menarik dari peresmian kereta Bandara Soekarno-Hatta adalah langkah Presiden mengundang Muhaimin yang akrab disapa dengan sebutan Cak Imin. Tidak hanya dalam peresmian, Cak Imin juga diajak duduk bersebelahan dengan Jokowi dalam kereta menuju Stasiun Sudirman Baru.
Jika dicermati, kondisi pertemuan ini menarasikan pemilihan umum sudah dekat. Jika dibaca dari sisi peta politik, Cak Imin digadang-gadang menjadi pendamping Jokowi dalam Pemilihan Umum Presiden 2019 sebagai bakal calon wakil presiden.
Lagi-lagi rasanya kurang tepat, jika pertemuan politik dilakukan dalam momentum peresmian kereta Bandara Soekarno-Hatta. Sehingga masyarakat dapat menganggap semua itu sebagai bentuk pencitraan dan kepentingan politik, bukan sebagai pembahasan strategis kenegaraan.
Inovasi dan evaluasi
Adanya kereta Bandara Soekarno-Hatta tentu membangkitkan harapan banyak pihak, tak terkecuali Presiden, agar kemacetan di wilayah ibu kota dan sekitarnya dapat sedikit terurai. Masyarakat juga diharapkan mau meninggalkan kendaraan pribadi saat menuju bandara terbesar di Tanah Air tersebut.
Kereta Bandara Soekarno-Hatta yang terdiri dari 12 rangkaian kereta. Setiap rangkaian memiliki 42 bangku dengan total kapasitas angkut 272 penumpang ini memiliki waktu tempuh untuk menuju Bandara Soekarno-Hatta sekitar 54 menit.
Adapun rute kereta Bandara Soekarno-Hatta adalah Stasiun Manggarai-Sudirman Baru-Duri-Batu Ceper-Bandara Soekarno-Hatta. Pada masa pengoperasian awal, kereta Bandara Soekarno-Hatta tidak langsung berangkat dari Stasiun Manggarai. Ini karena stasiun tersebut masih dalam proses konstruksi.
Tarif yang diberlakukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk kereta Bandara Soekarno-Hatta menurut penulis masih tergolong mahal. Kemenhub memberlakukan tarif normal sebesar Rp 70 ribu. Tarif tersebut berlaku untuk seluruh stasiun yang melayani tujuan Stasiun Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan sistem pembayaran nontunai mulai 2 Januari 2018.
Seharusnya, pemerintah melakukan penghitungan yang tepat perihal harga yang harus dibayar oleh penumpang dan besaran subsidi yang diberlakukan. Dengan begitu, masyarakat tidak akan merasa keberatan jika hendak menggunakan fasilitas ini ke bandara.
Apalagi jika kita kaitkan bahwa keberadaan kereta Bandara Soekarno-Hatta ini untuk mengurangi kemacetan. Maka tak salah apabila moda transportasi ini harus memenuhi syarat seperti lebih aman, lebih nyaman, lebih mudah diakses, dan lebih murah daripada menggunakan moda transportasi lainnya termasuk kendaraan pribadi, Bus Damri, dan taksi daring.
Mengingat sistem penjadwalan kedatangan kereta belum sempurna, hal ini membuat masyarakat banyak yang kurang tertarik untuk menggunakan kereta Bandara Soekarno-Hatta. Ini karena mereka harus menghitung waktu kedatangan kereta dengan jadwal penerbangan sehingga ada kesan terburu-buru.
Di sisi lain, banyak yang masih tertarik dengan Bus Damri, dan juga taksi daring karena harganya lebih murah. Apalagi jika rombongan, menggunakan taksi daring jauh lebih murah pembayaran karena bisa patungan.
Menurut saya, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan dan PT Railink Indonesia, harus mengevaluasi pengoperasian kereta Bandara Soekarno-Hatta. Evaluasi tersebut bisa di lakukan terkait pelayanan, tarif, dan infrastruktur.
Pelayanan ada dua jenis, yaitu pelayanan di stasiun dan pelayanan di dalam kereta yang nyaman. Kemudian, waktu keberangkatan dan waktu kedatangan yang harus tepat waktu karena mengingat jadwal penerbangan di bandara yang setiap orang berbeda.
Kemudian pembelian tiket yang secara dadakan atau langsung (go show) tanpa perlu mencantumkan surel (email) perlu diakomodasi. Hal ini penting karena tidak semua calon penumpang, terutama usia lanjut, memiliki alamat surel yang diminta sehingga operator diminta untuk menyesuaikan.
Jika hal tersebut dapat dilakukan, harga tiket kereta Api Bandara Soekarno-Hatta sebesar Rp 70 ribu. tampaknya tidak memberatkan. Semua karena fasilitas dan pelayanan yang didapat oleh masyarakat juga memuaskan.
*) Founder Gerakan Rusun Mengajar, Founder Synergyscholarship.id