REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie *)
Tahukah kita salah satu metode belajar terbaik para nabi? Sayangnya, metode belajar ini semakin hilang dari pendidikan kita, baik pendidikan di rumah, sekolah, pesantren, maupun masyarakat. Akibatnya, pendidikan memang memproduksi manusia-manusia cerdas, namun hampa iman dan adab. Ilmunya berhenti sampai kepalanya (tsaqafah), tidak sampai menembus hatinya (hikmah).
Saya ingin memulai diskusi kita dengan mengutip salah satu ayat Alquran favorit saya. Biasanya saya menginsyafi ayat ini saat jelang tidur, membuka pintu rumah dan menatap langit lepas nan damai atau ketika turun hujan lebat disertai petir menggelegar.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 190 – 191).
Bila ayat di atas disederhanakan dengan satu kata, maka kata yang mewakili adalah tafakur. Tafakur berbeda dengan tadabur. Tadabur objeknya adalah teks, yakni ayat Alquran (ayat qauliyah). Sedang, tafakur objeknya adalah semesta (ayat kauniyah). Bila kita mencermati Alquran, maka begitu banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang semesta. Bahkan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum dan ibadah.
Kemudian, bila kita telisik lebih dalam, setiapkali Alquran menerangkan tentang kompleksitas alam semesta namun berjalan serasi dan seimbang, maka diujungnya mesti ditutup dengan pesan terpenting, yaitu iman kepada Allah. Bahwa, itu semua tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Bahwa, Allah-lah pencipta dan pengendali semesta jagad raya ini. Hanya Allah. Esa.
Inilah tafakur. Mengamati semesta jagad raya dan semua yang ada di dalamnya sampai merasakan dalam hati kebesaran dan kekuasaan Allah. Mengamati langit, bulan, bintang, matahari, pepohonan, buah-buahan, binatang, gunung, laut, hujan, petir, termasuk merenungkan diri sendiri. Inilah metode yang diajarkan Allah kepada para nabi-Nya. Maka, kita mengenal para nabi itu ahli tafakur. Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Yahya, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ahli tafakur. Bahkan, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjadi ahli tafakur sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul.
Salah satu Nabi ahli tafakur yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini adalah Nabi Yahya ‘Alaihissalam. Sedari kecilnya Yahya ‘Alaihissalam sudah senang bertafakur. Ibnu Katsir, dalam bukunya Qashahil Anbiya, menceritakan, “Satu hari, Nabi Zakaria ‘Alaihissalam tidak mendapati Yahya ‘Alaihissalam seharian. Sedari pagi hingga senja hari, tak dilihatnya Yahya ‘Alaihissalam.
Nabi Zakaria khawatir Yahya ‘Alaihissalam dibunuh oleh para rabi Yahudi. Kekhawatiran ini beralasan mengingat sedari kecilnya Yahya ‘Alaihissalam telah memahami Taurat dengan baik. Sementara para rabi Yahudi itu hobinya memalsukan ayat-ayat Taurat dan memperjualbelikannya dengan harga yang murah. Yahya ‘Alaihissalam kerap mengoreksi kekeliruan-kekeliruan rabi Yahudi.
Maka, Nabi Zakaria mencari Yahya ‘Alaihissalam ke berbagai tempat. Hingga ditemukanlah Yahya ‘Alaihissalam tengah berada di sebuah kebun terduduk termangu. Nabi Zakaria mendekat. Dilihatnya anak kesayangan, yang dinanti-nantinya hingga lanjut usianya, itu tengah menangis sesenggukan. Di hadapannya ada lubang persis menyerupai liang lahat.
“Wahai anakku tersayang, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Nabi Zakaria.
“Wahai ayahku tersayang, bukankah engkau yang menerangkan bahwa api neraka itu hanya dapat dipadamkan oleh tangisan karena takut kepada Allah dan mengharap rahmat-Nya? Aku menggali liang lahat ini. Kemudian, aku pandangi dengan penuh penghayatan dan penginsyafan sambil berbisik lirih dalam hati, ‘Wahai Yahya, inilah kelak rumahmu sebenarnya. Apa yang sudah kau persiapkan untuk menghadapi kematian? Bekal apa yang sudah kau kumpulkan untuk menjumpai Tuhanmu? Di manakah kelak tempatmu di akhirat? Surgakah atau nerakakah? Aku duduk di sini dan terus gelisah memikirkan nasibku di hadapan Allah kelak.’”
Ketika itu Yahya ‘Alaihissalam masih berusia tujuh tahun. Bayangkan, anak usia tujuh tahun telah memiliki kebiasaan tafakur. Pikirkan anak usia tujuh tahun telah mampu memikirkan perkara akhirat. Renungkan anak usia tujuh tahun telah mengerti adab kepada Tuhannya. Dan, melalui kebiasaan tafakur inilah Yahya ‘Alaihissalam diberikan hikmah oleh Allah. Bukan sekadar ilmu, melainkan hikmah. Hikmah adalah ilmu yang mengantarkan pada iman kepada Allah, keta’atan dan ketundukkan total kepada-Nya. Ilmu yang menjadikan pemiliknya memiliki kearifan, kebijaksanaan, kelembutan hati, dan ketajaman firasat.
Alquran menerangkan tentang Yahya ‘Alaihissalam, “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak. Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam [19]: 12 – 13)
Kini, mari kita tengok pola pendidikan di rumah-rumah dan sekolah-sekolah kita? Adakah anak diajak dan dibiasakan bertafakur? Bagaimana pelajaran sains disajikan? Apakah membuat anak semakin dekat kepada Allah ataukah malah menjadikannya menjauh dari-Nya? Apakah anak menjadi semakin beriman ataukah malah menjadi sekuler?
Maka, di sinilah pentingnya kita melakukan reorientasi pembelajaran dan pendidikan. Pendidikan mestinya menjadikan anak semakin menghayati keimanannya kepada Allah. Membuat anak semakin mulia adabnya. Dan, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa rela berkorban untuk agama (Islam) yang dicintainya.
Sebagai penutup, mari kita tengok bagaimana baginda nabi tercinta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengaplikasikan tafakur dalam proses pendidikan para sahabatnya. Satu ketika, Rasulullah dan para sahabat berjalan-jalan menyusuri Madinah. Di tengah perjalanan, Rasulullah mendapati seonggok bangkai unta yang mulai membusuk.
“Adakah di antara kalian yang mau membeli bangkai ini?” tanya Rasulullah. Para sahabat bingung dan merasa ada yang tidak biasa dari pertanyaan Rasulullah. Mereka saling berbisik-bisik untuk mencari adakah yang mau membelinya? Ternyata tidak ada seorang pun sahabat yang mau membeli bangkai unta itu.
“Ya Rasulullah, jangankan membeli bangkai unta itu, andai diberikan gratis pun, kami tidak mau,” jawab para sahabat.
“Ketahuilah oleh kalian para sahabatku, dunia dan semua isinya ini di sisi Allah tidak lebih berharga daripada bangkai unta ini,” terang Rasulullah.
Rasulullah melanjutkan, “Andai dunia dan semua isinya ini di sisi Allah nilainya melebihi sehelai sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan dunia kepada orang-orang kafir meski seteguk air.”
Cermatilah, bahkan perjalanan biasa sekalipun dalam pandangan Rasulullah, bisa diubah pelajaran iman kepada Allah. Maka, wajar jika generasi sahabat tumbuh menjadi generasi terbaik. Generasi yang sangat mencintai Allah dan Allah pun cinta kepada mereka. Generasi yang sangat mencintai Islam dan rela berkorban untuk agamanya. Sudahkah tafakur ada dalam metode pendidikan kita?
*) Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Sahabat Remaja Indonesia