REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lili Romli, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
Ada kekhawatiran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 akan diwarnai pertarungan berbasis politik identitas atau primordial, seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2017. PKS, Gerindra, dan PAN sepakat berkoalisi di lima provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Benarkah akan muncul pilkada yang berbasis politik identitas?
Seperti yang terekspos ke publik, pimpinan partai politik yang gencar melakukan pertemuan intensif untuk menentukan calon gubernur dan wakil gubernur ini adalah para petinggi Gerindra, PKS, dan PAN. Ada keinginan kuat pada mereka untuk melanjutkan koalisi mereka di Pilkada DKI Jakarta yang terbukti sukses itu pada Pilkada 2017.
Setidaknya di tiga provinsi terbesar, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, diyakini jika koalisi mereka menang dalam pilkada tersebut akan menjadi tiket penting untuk memenangkan Pilpres 2019.
Model koalisi
Bila kita melihat daftar calon gubernur dan wakil gubernur yang diajukan setiap gabungan partai di tiga provinsi terbesar tidak terlihat signifikan meneruskan pertarungan Pilkada Jakarta, yang merepresentasikan pertarungan antara kubu pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi.
Dengan lain perkataan, bisa jadi koalisi Pilkada 2018 adalah “koalisi sesaat” yang tidak akan memengaruhi pembentukan koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.
Di Jawa Barat, Partai Gerindra, PKS, dan PAN memang berhasil membentuk koalisi dengan mengusung pasangan Sudrajat-Syaikhu setelah tidak mencapai kesepakatan dengan Deddy Mizwar, yang kemudian diusung oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar dan dipasangkan dengan Deddy Mulyadi.
Ketika Golkar di bawah Setya Novanto mendukung Ridwan Kamil yang diusung oleh Partai Nasdem, PPP, dan PKB. Tetapi, ketika kursi pimpinan Golkar beralih kepada Airlangga Hartarto, tiba-tiba dukungan tersebut dicabut.
Toh setelah itu tidak lantas Partai Golkar bergabung dengan PDIP, yang punya kepentingan untuk memenangkan Jokowi pada Pilpres 2019. Sebab, pada detik-detik akhir PDIP, mengajukan calonnya sendiri, yaitu Tb Hasanuddin.
Sementara PKB dan PPP, yang diduga akan mencabut dukungannya kepada Ridwan Kamil untuk menjaga kebersamaan mereka dengan PDIP dan Jokowi, tetap mendukung Ridwan Kamil yang dipasangkan dengan wakil dari PPP, Uu Ruzhanul Ulum.
Sementara itu, di Jawa Tengah, PDIP yang mengusung pejawat Ganjar Pranowo berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen, putra KH Maoimoen Zubair, sesepuh PPP, yang semula akan digaet Sudirman Said yang dicalonkan oleh Partai Gerindra.
Koalisi PDI dan PPP ini kemudian didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar. Sedangkan Sudirman Said mendapat wakil Ida Fauziah yang diajukan oleh PKB. Gerindra, PKS, dan PAN memang masih dalam satu kubu mendukung Sudirman Said yang tempo hari bekerja untuk kemenangan Anies-Sandi di Jakarta, tapi pertempuran pada Pilkada Jawa Tengah ini tidak lagi menyajikan suasana pilkada rasa pilpres sebagaimana di Jakarta.
Semula PKB akan mengajukan calonnya sendiri, yaitu Marwan Ja’far dan berharap bisa berkoalisi dengan Partai Golkar yang akan mengajukan wakil calon gubernur.
Bagaimana dengan Jawa Timur. Gerindra, PKS, dan PAN yang semula berusaha keras untuk membentuk poros baru, akhirnya menyerah dan memberikan dukungan kepada calon yang sudah ada. Semula Prabowo mendekati Yenny Wahid agar bersedia dicalonkan, tetapi putri mantan presiden Abdurrahman Wahid ini menolak untuk menghindari atau memperparah polarisasi kalangan Nahdliyin. Dalam hal ini pun mereka tidak kompak.
Gerindra dan PKS memberikan dukungan kepada Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno (semula wakilnya adalah bupati banyuwangi Abdullah Azwar Anas, tetapi mengundurkan diri), yang notabene diusung oleh lawan politik mereka, yaitu PDIP dan PKB pada pilpres yang lalu, sedangkan PAN memberi dukungan kepada Khofifah Indar Parawansa, yang didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar yang berpasangan dengan Bupati Trenggalek, Emil Dardak, yang sebelumnya adalah kader PDIP.
Terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar yang diduga akan mencabut dukungan kepada Khofifah dan mengalihkannya kepada PDIP ternyata tidak terjadi.
Apabila kita melihat model koalisi yang terbangun seperti di atas, suasana Pilkada Jakarta tahun lalu yang dirasakan seperti pemilihan presiden tidak terulang pada pilkada tahun ini. Jadi, perkiraan sementara kalangan bahwa Pilkada 2018 serasa Pilpres 2019 tampaknya tidak terwujud.
Begitu juga, dengan kekhawatiran bahwa Pilkada 2018 akan diwarnai pertarungan politik identitas seperti pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, terutama di tiga provinsi terbesar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Faktor kemenangan
Apa yang bisa disimpulkan dari calon-calon gubernur dan wakil gubernur pada pilkada di tiga provinsi tersebut? Pertama, koalisi dalam Pilkada 2018 tidak ideologis sebagaimana pada Pilkada Jakarta 2017. Bukan karena hanya faktor agama, melainkan kekuatan politik seperti PDIP mulai mempertimbangkan para “pemilih Muslim” dengan kesediaan berkoalisi dengan yang disebut Megawati sebagai kalangan religius.
Fenomena ini terjadi khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, di Jawa Timur di mana PDIP hanya memiliki selisih satu suara di DPRD Jatim tidak memaksakan dirinya mengajukan calon untuk gubernur. Misalnya, Djarot Saiful Hidayat, mantan bupati Blitar dan gubernur DKI Jakarta pengganti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang justru dicalonkan untuk Sumatra Utara.
Sedangkan di Jawa Tengah PDIP buru-buru merebut Taj Yasin, putra kiai kharismatis Maimoen Zubair, sebelum yang bersangkutan digaet Prabowo Subianto dkk yang menjagokan Sudirman Said.
Kedua, jika tidak ideologis, pertimbangan koalisi pada Pilkada 2018 tentulah berdasarkan pertimbangan yang lebih pragmatis sifatnya. Misalnya, faktor kandidat, peluang untuk menang, dan faktor kedekatan. Ini misalnya tampak dari alasan yang diberikan oleh KH Maimoen Zubair, mengapa dia akhirnya lebih memilih Ganjar, meskipun sebelumnya sudah memberikan lampu hijau kepada Sudirman Said.
Alasannya dengan Ganjar lebih sreg karena sudah lama mengenal dari dekat. Faktor kedekatan itu pula mengapa Megawati rela mendukung Saifullah Yusuf, yang dulu aktif di PDIP, yang juga keponakannya Gus Dur. Dan sejauh ini, tampaknya tidak ada calon yang memiliki dukungan sebesar Saifullah Yusuf dan Khofifah - faktor yang membuat Prabowo dan koalisinya gagal memajukan calon sendiri.
Ketiga, faktor pimpinan partai. Artinya, koalisi terbentuk juga lebih atas dasar maunya ketua umum partai. Ini yang terjadi pada kasus dukungan Golkar kepada Ridwan Kamil, di mana selera Setya Novanto ternyata berbeda dengan seleranya Airlangga Hartarto, misalnya.
Pilkada sejatinya adalah momentum bagi partai-partai politik untuk merealisasikan fungsi-fungsi kepartaian secara optimal. Misalnya, fungsi rekrutmen kepemimpinan. Masyarakat tentu akan memberi kepercayaan yang kuat terhadap politik jika mereka berhasil menjaring pimpinan daerah yang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka.
Namun, partai-partai lebih disibukkan dengan berbagai manuver untuk meraih kemenangan, dan mengabaikan apa manfaat yang bisa diperoleh oleh rakyat dari demokrasi elektoral yang mesti mereka ikuti itu.