Ahad 14 Jan 2018 05:09 WIB

Kepemimpinan dan Akhlak

KH Didin Hafiduddin
Foto: Republika
KH Didin Hafiduddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Didin Hafidhuddin

Permulaan tahun ini suasana kehidupan bangsa kembali dihangatkan dengan isu politik, khususnya pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Para kandidat yang mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik mengerahkan segala daya, dana, dan media kampanye untuk dapat terpilih atau terpilih kembali dalam kontestasi pilkada.

Dalam pemilihan pemimpin melalui mekanisme demokrasi dan pemilihan secara langsung belakangan in, penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) sering kali dipermasalahkan, bahkan dianggap merusak kebinekaan.

Pandangan dan anggapan bahwa pertimbangan keagamaan dalam memilih pemimpin adalah sumber masalah sejatinya menunjukkan dangkalnya pemahaman terhadap fungsi agama dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan warga negara dalam menjalankan dan mengaktualisasikan ajaran agamanya.

Dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karena itu, sikap alergi dan antipati terhadap faktor agama dalam berpolitik tidak seharusnya terjadi di negara kita, apalagi sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Menurut fakta dan realita, setiap menjelang pemilihan umum, pilkada, dan pilpres, partai politik dan pemimpin yang diusung untuk dipilih selalu mendekati umat dan ingin diakui sebagai sosok pemilihan yang relijius, dekat dengan ulama, dekat dengan dunia santri, dan sebagainya. Sekiranya agama tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik dan memilih pemimpin, untuk apa semua itu dilakukan dan diekspose melalui media?

Bagi umat Islam, segala hal, baik perbuatan, ucapan, keputusan, maupun pilihan terhadap sesuatu, sekalipun secara lahiriah menyangkut urusan duniawi, sama sekali tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari keimanan dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia seperti paham sekuler yang memandang agama hanya sebagai urusan pribadi setiap orang.

Umat Islam yang menaati ajaran agamanya wajib menilai kemaslahatan dalam ukuran agama dan akhlak, termasuk dalam praktik berpolitik dan berdemokrasi. Diakui atau tidak, kepemimpinan yang berakhlak dan begitu pula pentingnya kriteria orang berakhlak yang dipilih menjadi pemimpin tidak bisa dimungkiri merupakan harapan dan dambaan masyarakat.

Pertaruhan nasib dan masa depan agama dan bangsa harus menjadi perhatian dalam memilih pemimpin formal di semua tingkatan. Kemampuan dari segi pengetahuan, penampilan fisik, keturunan, kekayaan, dan popularitas bukanlah jaminan bahwa seseorang akan sukses dan meraih berkah dalam memimpin daerah dan menyelenggarakan pemerintahan negara, apalagi tanpa mendapatkan hidayah.

Tidak sedikit pemimpin yang semula dipuja dan dipuji, tetapi dalam perjalanannya berakhir dengan tragis karena berbagai permasalahan akibat tidak mampu mengendalikan diri, menangkis godaan hawa nafsu, atau salah memilih teman yang dipercaya.

Dalam kaitan ini, sebagai ikhtiar untuk menjaga kemaslahatan bangsa,maka akhlak calon pemimpin haruslah menjadi faktor penentu dalam memberikan dukungan dan memilih seseorang untuk menjadi pemimpin yang memegang kekuasaan. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis meramalkan akan datang suatu zaman, yaitu ketika umara (pemerintah) tidak lagi memberikan perlindungan kepada rakyatnya dan ulama tidak lagi menjadi suluh benderang di tengah-tengah umat.

Selengkapnya hadis dimaksud menyatakan yang artinya, “Akan datang melanda umatku di mana pemimpin yang berkuasa berlaku bagai (sifat) singa, para pembantunya bagai (sifat) serigala, para ulamanya bagaikan (sifat) hewan, rakyatnya bagaikan (sifat) domba. Coba bayangkan nasib domba yang hidup di tengah tengah situasi demikian.”

Hadis Nabi mengisyaratkan perlunya kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Pengalaman sering kali membuktikan bahwa pemimpin yang mencari kekuasaan, meski dibungkus dengan janji-janji untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kalau semua itu tidak ikhlas dan istiqamah maka kekuasaan yang dipegangnya menjadi sumber petaka, tidak saja bagi sendiri tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan.

Islam menggariskan empat sifat yang minimal harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang berakhlak, yaitu siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah. Siddiq adalah lurus dan bisa dipercaya. Tabligh bermakna kemampuan menyampaikan kebenaran. Amanah ialah bertanggung jawab dalam menjalankan tugas. Fathanah artinya cerdas dalam arti mampu menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar.

Timbulnya kegaduhan, penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan yang menyusahkan rakyat, salah satu penyebab adalah pemimpin miskin akhlak. Boleh jadi pemimpin terlihat dekat dengan rakyat, tetapi ketika membuat kebijakan tidak menyelami perasaan dan aspirasi rakyat menunjukkan akhlaknya hanya sebatas penampilan tetapi tidak berakar dalam karakter diri.

Kedekatan pemimpin dengan rakyat tidak cukup hanya kedekatan formal dan verbal, tetapi lebih penting adalah kedekatan emosional, kedekatan cita-cita dan memahami sejujurnya apa yang menjadi harapan atau kegelisahan rakyat sampai ke lapisan akar rumput. Seorang pemimpin sejati, kata orang bijak, adalah pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Dalam kaitan dengan kepemimpinan dan akhlak, ada baiknya kita renungkan nasihat seorang pemimpin dan pejuang Islam almarhum Prawoto Mangkusasmito yang sangat relevan tantangan kehidupan bangsa dan negara dewasa ini.

“Ikatan jiwa lebih kuat daripada ikatan organisasi. Kita menjumpai suatu organisasi yang sudah berumur bertahun-tahun, tetapi tidak mampu lagi untuk mengikat hati para anggotanya, maka pecahlah organisasi yang bersangkutan.

Sebaliknya, dalam kalangan kita sendiri di waktu yang lampau, ada kalanya ikatan formal itu tidak ada, akan tetapi ikatan batin tetap terpelihara, maka tetap dirasakan adanya persatuan itu. Sudah barang tentu persatuan yang sebaik-baiknya ialah persatuan yang diikat lahir dan batin.”

Organisasi yang dimaksud oleh Pak Prawoto bisa dikembangkan penafsirannya tidak hanya organisasi masyarakat, tetapi bisa organisasi pemerintahan dan bahkan organisasi yang bernama negara. Pesan dan nasihat di atas mengandung makna kita harus menjaga supaya pemerintahan dan negara tetap solid, utuh, bersatu, dan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dengan kepemimpinan yang berakhlak.

Akhlak yang baik mampu mempersatukan segala perbedaan yang ada di tengah kehidupan bangsa dan bahkan merangkul segala potensi di masyarakat untuk disatukan dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Wallahu a’lam bisshawab.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement