REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Manusia adalah makhluk sosial. Dan karenanya dalam menjalani hidupnya manusia secara alami membutuhkan sesama manusia, bahkan sesama makhluk sekitarnya. Ikatan antar manusia dan makhluk itu merupakan ikatan alami dan fitri. Maka manusia tidak mungkin melarikan diri dari kehidupan publiknya.
Dalam menjalani kehidupan publik manusia itulah diperlukan beberapa hal terkait. Adanya visi dan tujuan yang bersama, serta adanya acuan-acuan (petunjuk) dalam menjalani kehidupan jamaa’i (publik) itu menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam hidup berjamaah (masyarakat).
Akan tetapi jika masyarakat itu adalah kendaraan maka yang menentukan arah perjalanan kendaraan itu adalah pengemudinya. Sehebat apapun kendaraan, semewah bagaimanapun juga, jika tidak dikendalikan oleh seorang pengemudi yang baik boleh jadi berakhir ke ujung yang tragis.
Pengemudi dalam kehidupan publik itu adalah pemimpin. Sang pemimpin inilah yang bertanggung jawab mengarahkan kemudi perjalanan masyarakatnya. Benar salahnya, baik buruknya perjalanan masyarakat banyak, bahkan sesungguhnya ditentukan oleh bagaimana pemimpinnya.
Mungkin urgensi makna “tanggung jawab” kepemimpinan hidup inilah maka manusia pada dirinya sendiri disebut khalifah. Karena sejatinya manusia semua adalah pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri.
Demikian besarnya tanggung jawab kepemimpinan ini maka setiap kita ditetapkan sebagai pemimpin dan akan bertanggung jawab di hari akhir nanti tentang kepemimpinan kita masing-masing. Sabda Rasul: “Setiap kalian adalah penggembala. Dan setiap gembala akan dimintai pertanggung jawaban tentang gembalaannya”.
Bahkan di hari ketika semua manusia mencari perlindungan dari panasnya terik matahari padang Mahsyar, salah seorang yang akan dilindungi darinya adalah “imaam aadilun” (pemimpin yang menegakkan keadilan).
Sebagai bagian dari tanggung jawab keumatannya, setelah diangkat menjadi pemimpin (inni jaa’iluka linnaas imaama) Ibrahim AS memohon kepada Allah agar anak keturunannya juga diberikan kesempatan menjadi pemimpin. Namun Allah menegaskan bahwa “janji-Nya tidak akan diberikan kepada mereka yang zholim”.
Syarat-syarat kepemimpinan
Dalam Alquran maupun hadis kata kepemimpinan disebutkan berkali-kali. Selain pada ayat di atas di mana Allah mengangkat Ibrahim AS sebagai pemimpin manusia, juga pada ayat lain Ibrahim meminta atau berdoa kepada Allah agar dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Doa itu adalah “Rabana hablana min azaajina wa dzurriyatina qurrata a’yun waj’alnna lil-muttaqiina imaama”.
Pada ayat itu minimal dua hal yang menjadi pelajaran. Pertama, bahwa kepemimpinan tidak terlepas dari keluarga. Orang yang morat marit, kacau dalam keluarganya, berat untuk dijadikan tauladan dalam kepemimpin publiknya.
Kedua, bahwa kepemimpinan dalam Islam itu tidak lepas dari orientasi ketakwaan. Tujuan seorang pemimpin adalah menjadikan dirinya sebagai pemimpin bagi orang-orang bertakwa. Artinya, agar masyarakatnya bertakwa maka pemimpinnnya harusnya minimal seperti masyarakat yang bertakwa. Bahkan idealnya adalah lebih bertakwa dari masyarakatnya.
Dan oleh karenanya memilih pemimpin itu tidak boleh mengabaikan ketakwaan. Nilai-nilai ketuhanan, keimanan dan akhlak karimah menjadi ukuran mendasar bagi umat untuk memilih pemimpinnya. Bukan seperti persepsi yang terbangun: “asal mampu walau tidak beragama tidak masalah”.
Tentunya yang kita maksud beragama bukan sekedar hebat ritualnya. Tapi yang terpenting dalam konteks kehidupan publik adalah mampu menampilkan karakter yang terakhlak karimah. Jujur, rendah hati, berjiwa pengabdian (bukan dilayani), dan mengedepankan jiwa pertanggung jawaban tidak saja kepada masyarakatnya, tapi yang terpenting kepada Rabbnya di akhirat kelak.
Ketika Allah mengisahkan Bani Israel dalam Alquran, Allah menyebutkan bahwa: “dan Kamu jadikan dari kalangan mereka pemimpin-pemimpin (aimmah)”. Lalu Allah menyebutkan tiga kriteria utama pemimpin itu:
Pertama, “yahduuna bi amrina”. Bahwa pemimpin itu memiliki “petunjuk” dalam kepemimpinannya. Kata “yahduna bi amrina” yang berarti “tertunjuki dalam urusan Kami” berarti pemimpin itu harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam urusan kepemimpinannya. Maka seorang walikota paham kotanya, seorang gubernur paham daerahnya, dan seorang presiden memiliki pengetahuan yang cukup tentang negara yang dipimpinnya.
Kedua, “lamma shobaru”. Bahwa pemimpin itu memiliki kesabaran yang tinggi. Kesabaran itu adalah tingkatan tertinggi dari kekuatan mentalitas seseorang. Maka, wajar jika kesabaran itu akan dibalas secara langsung oleh Allah di hari akhirat. Sabar ini adalah kemampuna mengendalikan diri dan hawa nafsu dalam menghadapi tantangan dan cobaan. Dalam konteks kepemimpinan, nilai ini menjadi sangat mendasar karena tanpa kesabaran pemimpin boleh jadi menjadi diktator dan brutal. Atau boleh jadi tergiur dan melakukan berbagai penyelewengan atau korupsi. Dalam bahasa politik modern karakter sabar ini disebut “berintegritas”.
Ketiga, “wa kaanuu bi aayaatina yuuqinuun”. Bahwa pemimpin itu harus memiliki “keyakinan” atau self confidence. Seorang pemimpin yang tidak percaya diri akan berat mengambil kesimpulan. Pemimpin yang yang tidak memiliki keyakinan akan mudah goyah, dan terbawa arus berbagai kepentingan atau kecenderungan sekitarnya. Maka “yuuqinuun” itu adalah karakter pemimpin yang kuat dan tegas, tahu mengambil sikap dan keputusan, serta tidak mudah terpengaruh dan terombang-ombang, apalagi ketakutan.
Bangsa Indonesia yang saat ini sedang memasuki musim pemilihan pemimpin, baik pada tingkatan daerah atau pilkada maupun pada tingkatan nasioanl di tahun 2019 mendatang dengan pemilu, harus menyadari urgensi mencari pemimpin yang sesuai. Tiga kriteria yang disebutkan di atas bisa menjadi pertimbangan minimal, tapi mendasar, dalam menentukan pilihan.
Ingat, pemimpin itu sangat menentukan wajah negara dan bangsa ke depan. Tapi dalam tatanan kehidupan demokrasi warna pemimpin ditentukan oleh rakyatnya. Oleh karenanya rakyat sebagai “master” dalam tatanan demokrasi (tuan) harus menentukan warna pemimpin mendatang dengan memilih dengan penuh tanggung jawab.
Tentu tanggung jawab rakyat itu harus terilhami oleh tuntunan samawi yang diajarkan oleh agama. Maka, jangan terbawa arus persepsi yang mengatakan jika pemilihan pemimpin tuntutan agama tidak diperlukan. Justeru agama menjadi acuan dasar dalam menentukan kriteria pemimpin itu. Semoga!
Jeddah, 14 Januari 2018
*) Presiden Nusantara Foundation