REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip, Chief Economist Bank Bukopin
Pada 2018 ini, peluang bagi Indonesia untuk melanjutkan pertumbuhannya terbuka lebar. Setidaknya, ini terlihat dari beberapa indikator yang telah bergerak positif sejak tahun 2017. Kinerja ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, Cina, dan Jepang bergerak positif sepanjang 2017. Berdasarkan perkiraan IMF yang diterbitkan pada Oktober 2017 lalu, negara-negara tersebut akan melanjutkan perbaikan pertumbuhan ekonominya di 2018 ini.
Pada Oktober 2017 lalu, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS di 2018 mencapai 2,3 persen, lebih tinggi dibanding proyeksi IMF pada Juli 2017 sebesar 2,1 persen. Sementara itu, Eropa diperkirakan tumbuh 1,9 persen (proyeksi Oktober 2017), lebih tinggi dibanding proyeksi Juli 2017 sebesar 1,7 persen.
Demikian pula dengan Jepang, di 2018 ini diperkirakan tumbuh 0,7 persen (proyeksi Oktober 2017) sedikit lebih tinggi dibanding proyeksi Juli 2017 sebesar 0,6 persen. Hanya India yang proyeksi perekonomiannya di 2018 sedikit lebih rendah yaitu diperkirakan tumbuh sebesar 7,4 persen (proyeksi Oktober 2017), sedangkan proyeksi Juli 2017 tumbuh 7,7 persen.
Meskipun proyeksi pertumbuhannya lebih rendah, angka perkiraan pertumbuhan ekonomi India di 2018 tersebut masih lebih tinggi dibanding perkiraan realisasi 2017 sebesar 6,7 persen.
Seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia tersebut, diperkirakan volume perdagangan luar negeri (terutama ekspor) Indonesia juga akan membaik. Membaiknya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia tersebut akan mendorong permintaan barang-barang dari Indonesia.
Setidaknya, indikasi membaiknya ekspor tersebut telah terlihat sejak 2017 lalu. Setelah mengalami kontraksi 2015-2016, kinerja ekspor selama 2017 telah menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Momentum pertumbuhan ekspor Indonesia juga didorong oleh kenaikan harga-harga komoditas ekspor Indonesia yang telah berlangsung sejak kuartal IV-2016. Harga minyak mentah dan gas, batubara, minyak sawit (CPO), serta harga komoditas pertambangan mineral lainnya tumbuh positif selama 2017.
Harga minyak mentah, bahkan minggu lalu telah menyentuh level 70 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir. Diperkirakan, laju pertumbuhan harga-harga komoditas tersebut masih akan berlanjut di 2018.
Sebagai negara yang memiliki kawasan ekonomi yang masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap komoditas (terutama di luar Jawa), perkembangan harga komoditas ini tentunya memberikan harapan positif bagi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2018.
Sebagai informasi, di beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan dan kawasan timur Indonesia, sektor-sektor penghasil komoditas (pertanian, kehutanan, dan perikanan serta pertambangan) memberikan sumbangan yang cukup tinggi (di atas 20 persen) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mereka.
Akibat tingginya ketergantungan pada komoditas, naik turunnya harga komoditas turut mempengaruhi kinerja perekonomian mereka.
Indonesia juga masih memiliki peluang untuk tetap menjadi salah satu primadona tujuan penempatan dana global. Saat ini, pemilik dana portofolio global sebenarnya masih berada dalam zona “kebingungan” dalam menyikapi situasi ekonomi global saat ini. Pemilik modal global, misalnya, masih menghadapi dilema terkait dengan situasi ekonomi dan politik di AS.
Pemulihan ekonomi AS memang sedang terjadi. Bank sentral AS juga sudah mulai mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikan tingkat suku bunga acuannya. Akibatnya, dana-dana asing yang sebelumnya ditempatkan di pasar keuangan negara berkembang berpotensi kembali ke AS.
Namun, kebijakan kenaikan suku bunga AS tersebut juga tidak serta merta menjamin bahwa dana-dana asing akan ditempatkan di AS. Pemilik modal juga mencermati situasi politik di AS, terutama terkait dengan sejumlah kebijakan kontroversial yang diambil oleh Presiden Donald Trump. Di sisi lain, meskipun pemulihan ekonomi Eropa telah berlangsung namun masih berjalan lambat. Situasi inilah yang menimbulkan kebingungan para pemilik modal global.
Di tengah kebingungan tersebut, kinerja perekonomian Indonesia relatif berjalan baik. Pada 20 Desember 2017 lalu, Ficth Rating baru saja menaikan peringkat utang (sovereign credit rating) Indonesia dari BBB-/Outlook Positif menjadi BBB/Outlook Stabil. Terdapat dua faktor kunci yang mendukung kenaikan peringkat tersebut.