Rabu , 03 Dec 2014, 18:22 WIB
Merajut Tenun Kebangsaan
Mendikbud Anies Baswedan memberikan pada Puncak Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke-6 di Istora Senayan, Jakarta (27/11). (Kemdikbud/Jilan Rifai)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kalau ada peristiwa SARA misalnya, maka efeknya bagi republik ini terlalu lama dan selalu ada orang yang melakukan itu."  Kesadaran perlunya instrumen pemersatu kebhinnekaan adalah fondasi terwujudnya satu negara.

Kemampuan membaca perubahan zaman itu diterjemahkan dengan besarnya optimisme anak-anak muda tentang masa depan bangsanya.

Kita harus sadar kebhinnekaan adalah fakta dan bukan masalah. Kalau kebhinnekaan dianggap sebagai masalah maka dia harus disatukan dan disamakan. Tidak seperti itu! kebhinnekaan itu adalah fakta.

Jangan sampai kebhinnekaan yang ada, kita lihat sebagai masalah. Jangan! Kalau pandangan itu muncul, maka harus kita ubah.

Oleh karena itu, terima kebhinnekaan, didik kebhinnekaan, dan biasakan bhinneka. Seperti laki-laki dan perempuan apakah itu masalah? tidak! Itu adalah fakta.

Oleh karena itu, didiklah untuk bisa menghormati laki-laki dan perempuan. Tidak usah dipandang sebagai masalah. Kalau dipandang sebagai masalah coba langkah penyelesaiannya apa? mengerikan sekali bukan?

Saya melihat Indonesia ini sebagai, istilah saya, tenun. Dengan benang lintas agama, lintas budaya, dan adat bahasa, yang menghasilkan mozaik luar biasa indah.

Saya istilahkan tenun karena harus dijaga keeratannya. Tenun kalau robek maka meskipun ditisik sehebat apapun tidak bisa kembali. Oleh karena itu, jaga ikatan kebangsaan kita.

Sekali tenun itu ada cacat maka memperbaikinya dengan alat apapun dan dengan cara apapun sulit mengembalikannya.

Kalau ada peristiwa SARA misalnya, maka efeknya bagi republik ini terlalu lama dan selalu ada orang yang melakukan itu.

Negara hadir untuk menjaga ikatan tenun itu dan berani untuk bertindak. Tenun itu dijaga kuat dengan pendidikan, toleransi, dan penegakan hukum.

Siapa saja yang berencana untuk merusak tenun kebangsaan dan  melakukan kekerasan maka jangan dibiarkan tak dihukum.

Setidaknya diperlukan waktu selama 17 tahun sejak deklarasi sebangsa 28 Oktober 1928 hingga deklarasi Republik Indonesia.

Selama 17 tahun itu, usaha meraih kemerdekaan dipertahankan dengan optimisme kolektif.

Optimisme bahwa kemerdekaan akan tercapai dan menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini menjadi tonggak penting bagi kita semua untuk meneladani, melanjutkan, dan memperbaharui semangat kaum muda pada 1928 dalam rangka mewujudkan dunia pendidikan menjadi semakin berkualitas, merata, terjangkau, dan berdaya saing.



(disarikan  dari wawancara dengan Kompas TV dan sambutan pada upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda 2014)

Reporter :
Redaktur : Taufik Rachman