Rabu , 14 Sep 2016, 08:31 WIB

Melahirkan 'Joey Alexander' Baru Lewat Bali Open Piano Competition

Red: Dwi Murdaningsih
Republika/ Yasin Habibi
Musisi jazz muda Joey Alexander tampil dalam live in concert di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Ahad (22/5)
Musisi jazz muda Joey Alexander tampil dalam live in concert di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Ahad (22/5)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Pesona Bali Open Piano Competition 2016 ditutup dengan sempurna oleh Deputi Pengembangan Pemasaran Nusantara Kemenpar, Esthy Reko Astuty di Harris Hotel & Residendes Sunset Road Kuta Bali (11/9). Final kompetisi yang mempertandingkan nomor piano klasik dan violin yang berlangsung dua hari itu sangat mengesankan.

Bali dikenal dengan kota budaya. Bali juga menjadi salah satu barometer perkembangan musik khususnya instrument piano baik dari genre klasik, pop, maupun jazz. Masih ingat nama pianis cilik asal Bali, Joey Alexander. Dia lahir 25 Juni 2003, jadi masih berumur 13 tahun. Tetapi karena atmosfer di Bali yang level dunia. Dia tumbuh menjadi satu satunya pianis jazz Indonesia yang dalam usia 7 tahun telah menguasai teknik permainan piano, improvisasi jazz dan menghebohkan Amerika.  

“Selamat buat para pemenang! Event ini menarik, bukan hanya karena digelar di Bali, yang menjadi destinasi pariwisata baik nusantara maupun mancanegara,” kata Esthy yang didampingi Asdep Pasar Personal Raseno Arya di Denpasar.

Acara kompetisi ini sendiri sudah menjadi atraksi yang cukup memikat. Antara wisnus dan wisman berbaur memantau serius satu demi satu penampilan para kontestan yang berasal dari hampir semua kota besar di tanah air. “Termasuk juri-juri yang berasal dari Macedonia dan AS. Lalu para peserta yang berasal dari Inggris, Australia, Jepang, Korea, dan Cina. Mereka beradu kepintaran bermain piano dan violin dengan lebih dari 12 kota di Indonesia,” kata dia.

Namanya kompetisi piano, supporter yang diboyong dari masing-masing daerah cukup antusias. Setiap peserta selalu disupport oleh para pendukung yang biasanya, keluarga, saudara, handai tolan, dan kawan-kawannya. Itu adalah kebiasaan yang lazim dalam kompetisi piano klasik. “Saya berharap event ini tidak berhenti sampai di sini saja, jika perlu diperbesar, agar peserta internasional lebih banyak. Selain untuk menguji kemampuan pianis dan violin dalam negeri, juga bisa membandingkan level anak-anak kita dengan mereka yang dididik di luar negeri,” kata Esthy.

Ketua Panpel Eleonora Aprilita S menyebut, kompetisi 2016 ini memang sedikit lebih unik. Para pianis dan pemain violin itu banyak yang tampil dengan gaya pakaian tradisional Bali. Dengan udeng (penutup kepala, red), sarung dan baju khas budaya Pulau 1000 Pura itu. “Karena itu, selain mendengarkan teknik bermain piano-viloin kasik, juga menyaksikan performance yang khas dan terasa berada di Pulau Dewata,” ujar Eleonora dari Opus Nusantara itu.

Kompetisi ini dimulai dari kelompok usia 7 sampai 18 tahun ini biasanya diantar oleh seluruh keluarga besarnya. Mereka rata-rata berasal dari latar belakang orang yang mampu, sehingga memboyong keluarganya menjadi supporter ketika jagoannya tampil. Satu peserta, bisa membawa 5-10 keluarganya. “Komunitas piano ini jumlahnya besar, dan mereka harus berani berkompetisi untuk menuju ke pegiat seni professional,” katanya.

Mengapa kompetisi piano ini strategis? “Perkembangan peminat musik klasik di tanah air, khususnya instrument piano dan violin sangat pesat, termasuk di Bali. Hanya kompetisi klasik yang berasal dari Eropa ini, yang bisa memberi peluang kepada pianis-pianis dan violinis Eropa untuk bisa bertanding di Bali. Kita bisa saling mengerti, di mana kelebihan dan kekurangan kita,” kata Nora.