REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Aceh ingin mewujudkan mimpi menjadi destinasi wisata halal kelas dunia. Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam Rakor Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh, Senin (19/9) mengatakan aceh harus bisa mengikuti standar yang sudah dibuat secara universal oleh GMTI, Global Moslem Travel Index.
“Standar global itu bisa membandingkan posisi kita, berada di mana? Diantara Negara-negara rival, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Turki, UAE, yang sukses dengan destinasi halalnya. Kelemahan dan kelebihan kita ada di mana? Kita bisa menentukan dengan cepat titik mana yang urgent disentuh? Dan bisa memenangkan pertarungan,” kata Arief.
Dia menyebutkan saat ini Indonesia masih terbawah di antara negara-negara di atas. Arief Yahya mengungkapkan salah satu kelemahan, dan mungkin sekaligus kelebihan Aceh adalah halal itu sendiri. Karena merasa semua makanan sudah dijamin seratus persen halal, maka stakeholder pariwisata di Aceh merasa sudah tidak perlu lagi mengurus sertifikat halal. Toh semuanya sudah halal?
“Nah ini yang salah kaprah! Meskipun sudah jelas-jelas halal, tetap dibutuhkan sertifikat halal tersebut, yang dikeluarkan oleh lembaga yang diakui global,” kata Arief Yahya.
Yang disertifikat itu, lanjut dia, juga bukan hanya makanan dan minuman saja. Tetapi 'muslem friendly amenities', seperti hotel, resto, café, dan semua yang terkait dengan wisman. Dari 3A –Atraksi, Akses, Amenitas, atraksi Aceh sangat kuat. Aceh lengkap dengan wisata alam (bahari, gunung, danau), wisata budaya (heritage, kuliner, seni dan budaya), dan wisata man made. Akses dan Amenitas, yang masih harus dikembangkan lagi.
Aceh Didorong Kembangkan Sektor Pariwisata, Ini Langkahnya
Arief Yahya menyebut cara yang paling mudah dan cepat untuk memenangkan persaingan adalah benchmarking. Tidak asal membandingkan kasus demi kasus, yang hanya berujung pada polemik dan debat kusir. Tetapi menggunakan standar global yang biasanya dilombakan setiap tahaunnya. “Quick win-nya, Aceh harus bisa memenangkan persaingan itu. Aceh harus bisa merebut award sebagai The World’s Best Halal Cultural Destination 2016, yang tahun lalu berhasil dimenangkan Lombok,” kata dia.
Tujuan paling fundamental dari pemenangan award internasional ini adalah 3C. Pertama, Calibration, untuk menyesuaikan kualitas layanan yang dimiliki dengan standar dunia. Apakah yang sudah dijalankan itu sudah memenuhi kriteria dan level dunia? Kedua, Confidence, award itu akan menaikkan confidence level atau membuat Aceh semakin pede dengan status juara dunia wisata halal. Ketiga, menaikkan Credibility, atau kepercayaan publik akan reputasi Aceh sebagai destinasi yang aman dan nyaman buat wisatawan darimanapun berasal.
Ketua Tim Percepatan Wisata Halal Kemenpar Riyanto Sofyan menyebut ada tiga level untuk merebut quick win itu. Pertama, global leadership, yang meliputi pemenangan international award, peningkatan peringkat GMTI, lobi dan komunikasi antar sesama stakeholder, dan makin banyak terlibat dalam event internasional.
Level kedua adalah pemasaran dan promosi, tujuannya mengintegrasikan kampanye wisata halal Indonesia baik ke dalam maupun luar negeri secara agresif, terutama target pasar utama. Jika diurut pasar wisata halal itu antara lain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Malaysia, Singapura, Cina, India, Rusia, Jerman, Perancis dan Inggris. “Lalu menjalankan strategi promosi pemasaran dengan DOT (destination, origination, timeline), strategi promosi dengan BAS (branding, advertising, selling) dan strategi media dengan POSE (paid media, own media, social media, endorser media),” kata Riyanto Sofyan.
Level ketiga adalah pengembangan destinasi, SDM dan kelembagaan. Yang dilakukan adalah penguatan daya saing atraksi, produk dan pelayanan. Khusus destinasi dengan 3A, (Atraksi, Aksesibilitas dan Amenitas), peningkatan kapasitas SDM, pembuatan pedoman wisata halal. Lalu, fasilitasi Sertifikasi Halal Indutri Pariwisata.