REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alih fungsi lahan pertanian ke fungsi nonpertanian kian masif di tengah upaya pemerintah membangun ketahanan pangan. Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut, kunci utama solusi masalah tersebut ada di tangan pemerintah daerah (Pemda).
"Kita sebetulnya sudah ada UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan turunannya, tapi pelaksanaan di lapangan tidak berjalan baik," kata dia, Selasa (17/11).
Alih fungsi lahan pertanian, lanjut dia, tidak bisa dibiarkan sebab akan mengganggu capaian produksi dan keersediaan pangan dalam negeri. Padahal dalam undang-undang sudah diatur sampai ke tingkat hukuman pidana bagi yang melanggarnya. Tetapi, kebanyakan pemda tidak konsisten menjalankannya. Hal tersebut terbukti dengan tidak dimasukkannya unsur wilayah pertanian ketika melakukan pengaturan tata ruang dan tata wilayah.
Namun, urusan alih fungsi lahan pertanian tidak sesederhana dengan mengandalkan UU 41/2009 yang nyatanya belum efektif diterapkan. Kendala utama lain adalah kepemilikan lahan pertanian oleh perseorangan. Jadi, terserah orang tersebut mau memperlakukan tanahnya, apakah akan dijual, tetap dijadikan sawah, atau dijadikan lahan industri dan jasa.
Di sisi lain, lahan pertanian yang notabene milik perseorangan juga menjadi obyek warisan. Ujung-ujungnyal jual beli lahan sawah yang merupakan warisan pun marak. Ia juga rentan dibeli orang kota untuk menjadi bahan spekulasi harga tanah.
Oleh karena itu, harus dilakukan pendekatan holistik. Misalnya, sistem pewarisan khusus tanah pertanian disusun sedemikian rupa agar ada aturan pengelolaannya. Ia pun mencontohkan, misalnya di suatu negara, lahan pertanian tidak boleh diwariskan. Ia bisa diwariskan, asalkan ahli waris berkomitmen akan mengolah lahan tersebut untuk pertanian.
Disinggung soal upaya perluasan lahan pertanian oleh pemerintah yang saat ini sedang diupayakan, ia melihat hal tersebut sebagai langkah baik dalam mengganti lahan pertanian lama yang hilang. Namun, jangan sampai sawah baru hanya dimiliki oleh pemodal besar dan kalangan pengusaha.
Jika begitu, semangat menyejahterakan petani tinggal di awang-awang. "Jangan kemudian dalam puluhan ribu hektare lahan sawah baru, yang mengusahakan malah pengusaha besar," katanya.
Ia mengingatkan pemerintah agar jangan berpikir terlampau besar namun mengabaikan yang kecil. Penambahan sawah baru seharusnya ditujukan bagi para petani kecil yang memang sudah lama serius mengolah sawah. Mereka tersebar di Jawa dan luar Jawa.
Sistemnya bisa menggunakan hak guna udaha tidak perlu dalam bentuk hak kepemilikan. "Daripada kita jauh-jauh buka sawah di Merauke, tidak jelas, katanya untuk food estate, tapi belum menjamin proyek itu menyentuh langsung petani kecil," ujarnya.
Maka itu, jalan terbaik yang dapat dilakukan saat ini yaitu menjaga agar petani betah dalam menekuni profesinya. Dalam arti, mereka mendapat kesejahteraan akibat bertani. Harga produk hasil pertanian harus dijaga jangan sampai merugikan. Di samping itu, sejumlah insentif dan bantuan harus disampaikan tanpa direcoki aksi penyelewengan.