REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk hortikultura kerap terombang-ambing fluktuasi harga. Di mana ketika panen raya harga jatuh dan ketika paceklik harganya tinggi.
Hal tersebut disebabkan petani hortikultura yang masih berfokus pada produksi basah dan segar. Di sisi lain, kebutuhan industri terhadap produk hortikultura belum bisa dipenuhi maksimal karena jumlah dan harga yang belum stabil di tingkat petani. Akibatnya impor dilakukan.
"Dari jumlah petani hortikultura yang kita catat sebanyak 3 juta, baru 30 persen yang siap untuk menambal kebutuhan industri," kata Direktur Perbenihan Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Sri Wijayanti Yusuf, Kamis (26/11).
Petani-petani inilah yang diharapkan dapat membina secara sukarela 70 persen lainnya agar dapat memproduksi hortikultura untuk kebutuhan konsumsi serta industri. Ia juga meminta agar industri tidak hobi melakukan jalan pintas impor, tapi membina petani lokal dengan sejumlah teknologi.
Meski begitu, ia melihat petani sudah mulai melakukan pengolahan produk hortikultura agar tahan lama dan tetap bernilai jual. Misalnya komoditas bawang.
"Bawang goreng mulai banyak diproduksi petani di Brebes, Palu, Cirebon dan sejumlah sentra bawang lainnya," ujar dia.
Begitu juga dengan cabai. Baik produsen maupun konsumen mulai tampak terbiasa menggunakan cabai bubuk dan kering untuk dikonsumsi.
Ditjen Hortikultura Kementan juga melakukan dua deregulasi dalam merespons paket kebijakan ekonomi. Hal tersebut tertuang dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal Pembiayaan dan RPP Usaha Wisata Agro. Sri menerangkan, kedua RPP telah berada di meja Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg).