REPUBLIKA.CO.ID,Berita mengejutkan itu datang dari Raffi Ahmad. Artis papan atas yang tenar karena menggawangi acara "Dahsyat" di salah satu televisi swasta itu dicokok petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) di kediaman Raffi, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Ahad pagi.
Raffi tak sendiri, dia ditemani 16 orang lainnya. Tiga di antaranya adalah artis. Petugas BNN menemukan barang bukti ganja dan ekstasi di kediaman Raffi. Bagaimana keterlibatan Raffi dalam kaitan kasus ini? Biarlah BNN dan aparat kepolisian terkait yang menyelidiki. Yang jelas, Raffi menjadi artis yang kesekian --jika benar terbukti-- terlibat narkoba. Raffi akan menambah catatan panjang selebritas dalam kasus barang haram ini.
Surendro Prasetyo alias Yoyo Padi, Sammy eks vokalis Kerispatih, Revaldo, Roy Marten, Fariz RM, Gogon, dan Doyok merupakan di antara sederatan nama selebritas yang terjaring aparat karena mengonsumsi maupun menjadi perantara pengedar narkoba. Pesinetron Revaldo bahkan harus dua kali tersandung kasus yang sama.
Demikian pula dengan artis senior Roy Marten. Dia ditangkap saat pesta sabu di Hotel Novotel Surabaya, Jawa Timur, 13 November 2007. Sebelumnya, pada 2 Februari 2006, Roy Marten juga ditangkap atas kepemilikan tiga gram sabu. Untuk kasus pertama, dia ditahan tiga tahun, sedangkan kasus kedua sembilan bulan.
Adanya artis yang tertangkap lebih dari sekali, mengindikasikan hukuman penjara tak memberi efek jera. Hukuman di hotel prodeo tak cukup untuk menjadikan mereka kapok dan tak mengulang lagi perbuatannya. Bahkan dalam kasus tertentu, terpidana narkoba justru mengatur peredaran barang perusak tubuh itu melalui penjara.
Terpidana narkoba Mairike Franola alias Ola merupakan salah satu contohnya. Ola divonis mati pada Agustus 2000. Bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa dan Rani Andriani, Ola terbukti bersalah menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta dalam perjalanan menuju London, Inggris, 12 Januari 2000.
Ola bahkan telah mendapatkan grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, keringanan hukuman yang merupakan hak prerogratif Presiden itu disalahgunakan. Ola malah menjadi pengedar narkoba di penjara.
Tak sedikitnya kasus narkoba ini, mengingatkan kita pada julukan Indonesia sebagai surga narkoba. Peredaran barang haram itu tak hanya di lapisan elite maupun kelas menengah atas, tapi juga kelas bawah warga bangsa ini. Hampir tak ada satu pun tempat yang luput dari jerat narkoba. Mulai dari rakyat jelata, artis, pejabat, anggota DPR, aparat penegak hukum, hingga penjaga penjara.
Jika dulu Indonesia hanya menjadi transit sindikat narkoba internasional, tapi kini Indonesia menjadi tujuan pemasaran. BNN pun menemukan jika narkoba telah diproduksi di dalam negeri, bukan lagi mengimpor. Jumlah penduduk yang mencapai 240 juta jiwa, pertumbuhan kelas menengah atas yang terpesat di dunia, dan ekonomi yang melesat, tentu menjadi incaran mafia narkoba internasional.
Dampak globalisasi pun mengubah perilaku masyarakat. Status ingin disebut sebagai bergaya hidup modern, menyebabkan orang-orang tertentu memilih mengonsumsi barang-barang setan itu sebagai gaya hidup. Apalagi, bagi sebagian kalangan artis yang pergaulannya luas, dengan gaya hidup yang tidak sehat, menjadi mudah menjadi target mafia narkoba.
Di sinilah perlunya keterlibatan masyarakat dalam memerangi mafia narkoba. Keluarga menjadi elemen pentingnya. Pengawasan orang tua di rumah, tetangga di lingkungan, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat, termasuk staf pengajar di sekolah maupun kampus, menjadi elemen penghalau jerat barang haram itu.
Masyarakat dapat saling mengawasi, kemudian melaporkan kepada pihak berwenang jika menemukan indikasi mafia narkoba bekerja di lingkungan mereka. Perilaku warga yang di luar kewajaran, termasuk aktivitas mencurigakan, harus bisa dicium dan segera dilaporkan ke pihak berwajib.
Namun, tak hanya dari mereka pencegahan itu. Sinergi memerangi narkoba juga harus dipimpin serius oleh pemerintah. Tak boleh ada lagi polisi yang diberitakan menggelar pesta narkoba. Tak harus ada lagi pengedar narkoba bekerja dari penjara. Pemerintah, mulai dari tingkatan terendah hingga Presiden, harus mengulangi ikrar perang terhadap narkoba. Tentunya, tak hanya di mulut, tapi realisasi di lapangan harus dibuktikan.