Selasa 12 Feb 2013 17:30 WIB
Mafia Impor Daging Sapi (1)

LoI Pemerintah-IMF, Perusak Sistem Produksi Pangan Nasional

Dana Moneter Internasional (IMF)
Foto: www.topnews.in
Dana Moneter Internasional (IMF)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Harga daging sapi belakangan melonjak tajam. Dikatakan, naiknya harga tersebut lantaran dampak dari terbatasnya suplai daging di pasaran. Ini juga erat kaitannya dengan pembatasan kuota impor daging sapi dan minimnya produksi dalam negeri.

Berikut paparan Ekonom Sustainable Development-Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo mengenai penyebab naiknya harga daging sapi tersebut. Di sini juga akan dipaparkan permainan kelompok mafia yang mengatur ketersediaan daging. Mereka juga yang paling bertanggung jawab terkait harga daging di pasaran.

Berbicara daging sapi, maka mau tak mau harus melihat jauh ke belakang. Yaitu, penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF) pada Januari 1998. Ini merupakan tonggak sejarah yang berperan besar merusak sistem produksi pangan di Indonesia.

Melalui LoI, peranan Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan, utamanya beras, dikebiri habis. Kredit likuiditas untuk pangan juga dilarang. Akibatnya Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi pasar. Padahal, itu yang dulunya efektif menstabilkan harga pangan. Kecuali pada saat krisis Asia. 

Bahwa monopoli oleh Bulog menjadi sumber korupsi itu memang benar dan harus diberantas. Tapi memberantas korupsi bisa dilakukan tanpa harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan yang terbukti cukup efektif.

LoI juga membuka keran impor besar-besaran. Yaitu dengan jalan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan dan non-pangan menjadi nol dan lima persen.

Dampak LoI yang paling parah adalah dari sisi orientasi kebijakan. Pada masa Presiden Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada. Serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Pasca-LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro-impor pangan.

Penentangan terhadap sikap pro-impor ini sudah banyak disuarakan oleh para ekonom dan lembaga penelitian yang antineoliberalisme. Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) juga sangat konsisten menyuarakan keberpihakan terhadap buah lokal.

Bersama Indef, saya sejak 1999 terus menerus menyuarakan hal yang sama. Saya tidak antiasing, tidak antiimpor. Yang saya tentang adalah kebijakan pro-impor yang sudah berlebihan. Yang hingga pemerintahan saat inipun tidak mengalami perubahan berarti.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement