REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpolitikan nasional di pertengahan hingga akhir Februari 2013 ini diwarnai dengan pergolakan yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat (PD).
Pergolakannya menajam dimulai dari elektabilitas PD turun menjadi 6 persen, lalu keputusan Ketua Umum Majelis Tinggi PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil peran Ketua Umum Anas Urbaningrum untuk membenahi partai, hingga Anas jadi tersangka di kasus korupsi Hambalang, Bogor.
Bila diamati, sejak keputusan SBY dua pekan lalu atas 'nasib' Anas di Cikeas, ada sejumlah peristiwa lain yang terjadi dan diduga berkaitan satu sama lain. Contohnya, Pakta Integritas PD yang digagas SBY, mundurnya Sekjen PD, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), penyebaran surat perintah penyidikan (Sprindik) palsu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Anas, Anas jadi tersangka, hingga Anas mundur dari jabatannya.
Lalu ada pula hembusan informasi bahwa Sprindik dibocorkan oleh kalangan Istana dari informasi interen KPK. Disebutkan pula bahwa sprindik itu sengaja dibocorkan untuk menekan Anas dan mendukung tindakan kalangan petinggi PD atas pengambilalihan kewenangan Anas di tubuh partai.
Namun, kemudian beredar informasi lain bahwa Sprindik itu dibocorkan oleh pihak interen KPK kepada salah satu kader PD yang dekat dengan Anas. Kader tersebut bersama seorang petinggi media menyebarkan Sprindik palsu itu diduga untuk tujuan mengadu KPK, Anas Urbaningrum, dan SBY.
Terlepas benar atau tidak informasi tersebut, ada hal yang menjadi garis tegas dalam fenomena belakangan ini, yaitu Anas menjadi tersangka dalam kasus Hambalang dan mundur dari jabatan di Ketua Umum PD.
"Ini rangkaian peristiwa yang tak bisa dipisahkan. Saya tak akan bicara panjang. Pada waktunya saya akan bicara panjang," ini kalimat yang disampaikan Anas saat mundur dari jabatannya pada Sabtu (23/2).
Kalimat ini ditegaskan lagi dengan perkataannya yang lain, yaitu, "Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan... Hari ini adalah awal dari langkah besar. Hari ini adalah halaman pertama dari sebuah langkah besar."
Malam hari usai mundurnya Anas, sejumlah tokoh nasional, tokoh politik, dan tokoh HMI berkumpul di kediaman Anas di Duren Sawit, Jakarta Timur. Inikah awal langkah besar Anas dan penggalangan perlawanannya? Hal ini dibantah oleh Mahfud MD, Priyo Budi Santoso, dan kader PD yang hadir saat itu. Mereka menyampaikan, kedatangannya untuk memberikan dukungan moral ke Anas.
Menurut sejumlah pengamat, Anas bakal melawan. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ary Dwipayana memprediksi, Anas berpotensi bermanuver lebih jauh. "Bahkan Anas bisa memperluas kasus ini hingga lingkaran istana," ujarnya. Sementara, kelompok anti-Anas juga, diperkirakannya, akan membabat habis para loyalis Anas yang ada di posisi strategis partai mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.
Pengamat politik dari Akbar Tanjung Institute, Alfan Alfian, mengatakan, "Kalau menyimak kembali pidatonya, Anas sudah memberikan sinyal bagi kelompok anti-SBY. Dari sini, Anas sudah menjadi simbol perlawanan terhadap SBY," katanya dalam Seminar Dies Natalis PB HMI ke-66.
Terlepas dari intrik politik yang bakal terjadi nanti, hal yang penting diperhatikan PD adalah mengatasi rendahnya elektabilitas partai. Apa perlawanan dan pertahanan yang akan berlangsung nanti itu sebagai upaya menaikkan elektabilitas, pencitraan atau justru pembunuhan karakter? Secanggih apapun intrik politik yang bakal terjadi dalam pekan ini dan ke depannya, maka semuanya akan sia-sia jika tidak mampu mengembalikan kepercayaan publik.