REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hazliansyah/Redaktur Hiburan ROL
Ben Affleck begitu terkejut saat film besutannya, Argo dinobatkan sebagai film terbaik dalam ajang Academy Awards ke-85 yang berlangsung di Dolby Theatre, Los Angeles, Ahad (24/2) waktu setempat. Kemenangan ini menambah deretan panjang penghargaan bagi film yang berlatar Revolusi Iran di tahun 1979.
Terlepas benar atau tidaknya kemenangan disangkutpautkan dengan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat saat ini, Acaedemy Awards atau yang juga kerap disebut Piala Oscar sukses dilangsungkan untuk ke-85 kalinya.
Ajang tersebut untuk kesekian kalinya memberi penghargaan bagi insan film dunia yang membuat penerimanya memiliki "nilai tambah" dalam dunia film. Penghargaan yang membuat penerimanya kian diakui dunia.
Konsep acara penghargaan yang dibuat sedemikian matang, mengisyaratkan ajang tersebut sebagai pestanya para insan film Hollywood, pesta yang selalu dinanti para pemangku kepentingan film dan juga pesta yang disaksikan oleh jutaan pasang mata di dunia karena disiarkan secara langsung ke lebih dari seratus negara.
Hal yang sama sebenarnya begitu diharapkan oleh insan film di Indonesia. Jika di Hollywood memiliki Academy Awards, maka "pestanya" para insan film Indonesia adalah Festival Film Indonesia. Namun bedanya, pelaksanaan ajang penghargaan paling prestisius bagi insan film Indonesia ini tidak pernah lepas dari yang namanya kontroversi.
Kontroversi yang paling mencolok dalam pelaksanaan FFI adalah sistem penjurian yang disinyalir sarat dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Mundur jauh ke belakang, filmindonesia.or.id mencatat, kontroversi terjadi dalam FFI 1955, 1967, 1974, 1977, 1980 dan 1984.
Sementara pada era 2000-an, kita masih ingat bagaimana anak muda di perfilman Indonesia yang mengatasnamakan Masayarakat Film Indonesia --seperti Mira Lesmana, Riri Riza dll-- beramai-ramai mengembalikan piala citra yang pernah mereka dapatkan ke pemerintah pada tahun 2006. Aksi mereka dilatarbelakangi protes terhadap sistem penjurian yang memenangkan film Ekskul sebagai pemenang.
Mereka protes karena film arahan sutradara Nayato Fio Nuala itu menggunakan skoring musik yang sebelumnya dipakai sebagai ilustrasi dalam film Gladiator. Meski akhirnya kemenangan Ekskul dibatalkan, namun para anak muda menginginkan adanya perubahan total dalam tubuh FFI.
Berbagai upaya perbaikan terus dicoba dilakukan. Namun bukannya semakin baik, pelaksanaan FFI dari tahun ke tahun makin tidak jelas. Di tahun 2010 misalnya, Komite Seleksi FFI melanggar aturan main pelaksanaan FFI. Komite Seleksi hanya meloloskan delapan film, padahal dalam pasal 3 ayat 5 dalam Buku Pedoman Pelaksanaan FFI disebutkan, film yang diloloskan untuk kemudian dinilai dewan juri minimal berjumlah 10 judul dan maksimal 15 judul. Saat itu panitia yang diketuai Niniek L Karim hanya meloloskan delapan judul film.
Belum berhenti sampai disitu, acara pengumuman nominasi yang dilangsungkan di Batam pada Ahad (28/11) tiba-tiba dibatalkan. Selanjutnya adalah dipecatnya Dewan Juri oleh Komite Festival Film Indonesia (KFFI). Mereka dipecat karena dengan sendirinya memasukkan film-film di luar film seleksi awal yang dimasukkan dewan juri ke dalam penjurian. Hal ini kemudian membuat Niniek L Karim, Ketua KFFI waktu itu mengundurkan diri.
Pada 2012 penyelenggaraan juga masih menimbulkan polemik. FFI yang disebut sebagai ajang tertinggi bagi insan film di Indonesia tidak dipersiapkan dengan matang. Padahal acara puncak yang digelar di Yogyakarta itu mendapat suntikan dana paling besar dalam sejarah FFI, yakni Rp 16,2 miliar.
Namun dalam pelaksanaannya, FFI 2012 masih belum menimbulkan gaung yang besar bagi perfilman Indonesia. Salah satu indikasinya adalah belum terlibatnya para anak muda dalam FFI.
Upaya perbaikan pelaksanaan FFI dari tahun ke tahun sebenarnya terus dilakukan. Namun belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan pelaksanaan FFI.
Untuk itu pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diamanatkan dalam UU Perfilman tahun 2009 harus segera diwujudkan. BPI salah satu tugasnya adalah melaksanakan Festival Film Indonesia (FFI).
Keberadaan BPI dinilai penting karena dalam pembentukannya akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan perfilman di Indonesia, sehingga apa yang menjadi keinginan para anak muda insan film Indonesia dapat diakomodir.
Apalagi pembentukan BPI juga mendapat respon positif dari mereka (anak muda). "Kami bukan antipemerintah, tapi kami anti orang-orang bodoh yang duduk di pemerintahan. Artinya jangan sampai mereka yang duduk adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang perfilman Indonesia," ungkap Joko Anwar saat ditemui usai menyaksikan siaran langsung Academy Awards ke-85, Senin (25/2) silam.
"Jangan sampai diisi oleh orang-orang yang dekat dengan pemerintah hanya untuk mendapatkan keuntungan dari segi finansial atau apalagi orang yang baru tapi tidak mengerti sama sekali tentang perfilman," lanjut Joko.
Artinya, lanjut Joko, BPI dalam melaksanakan tugasnya harus dilakukan oleh orang yang bukan saja tahu tentang film dan perfilman Indonesia, tapi juga orang yang memiliki kemampuan untuk riset, kemampuan untuk membuat plan (agenda) supaya perfilman Indonesia bisa maju.
"Jadi seharusnya asosiasi-asosiasi perfilman di Indonesia dilibatkan. Dan sudah saatnya bagi kita sekarang untuk masuk (sebagai anggota)," ujar Joko.
Maka dari itu, perfilman yang kini diurus oleh dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat bersinergi lebih erat lagi dalam mewujudkan pembentukan BPI. Mereka harus secara intens bertemu dan melibatkan lebih banyak lagi para pemangku kepentingan di Indonesia.
Karena sesungguhnya permasalahan perfilman di Indonesia tidak terbatas pada penyelenggaraan FFI saja. Lebih jauh dari itu, perfilman di Indonesia masih memiliki segudang masalah lainnya. Salah satunya adalah petunjuk pelaksana UU Perfilman Nomor 33 tahun 2009.