REPUBLIKA.CO.ID, Kisah bayi Dera yang meninggal dunia akibat tak ada rumah sakit yang mau menampung sungguh menyayat hati. Bayangkan, bayi tak bersalah itu harus meregang nyawa akibat rumah sakit yang konon tak bisa menampung dia. Yang mengenaskan, rumah sakit itu tidak hanya satu, melainkan 10 rumah sakit sekaligus.
Dan, bayi Dera tidak sendiri. Masih ada anak-anak, orangtua, hingga manusia lain yang juga menjadi korban arogansi rumah sakit. Masalah ketiadaan biaya menjadi isu utama. Rumah sakit selalu punya aturan baku yang tak bisa dilanggar oleh mereka yang kesulitan biaya. Aturan baku bernama uang jaminan.
Nyaris seluruh rumah sakit memberlakukan adanya uang jaminan untuk memasukkan pasien. Tidak ada uang, silakan pasien angkat kaki. Jika sudah begini, si miskin pun hanya bisa gigit jari. Dia hanya mampu menanti detik-detik kematian yang bakal menjerat lehernya tanpa ampun.
Kesehatan memang masih menjadi barang mewah di negeri ini. Ada pemeo yang mengatakan, sehat itu mahal, tapi sakit itu lebih mahal. Menggetirkan, namun itulah faktanya.
Untuk mereka yang tergolong kelas menengah, biaya rumah sakit untuk mereka yang rawat jalan sudah cukup mencekik leher. Apalagi, untuk mereka yang berasal dari kelas bawah, mereka hanya bisa pasrah saja menunggu adanya uluran tangan yang akan membantu mereka meredakan sakit.
Maka, ketika ada pejabat pemerintah yang bersedia memberikan fasilitas kesehatan gratis pada masyarakat, kehadiran mereka bak oase yang menyegarkan. Bayangkan, tanpa perlu mengeluarkan biaya besar, si miskin dapat dirawat dan mendapatkan kesembuhan yang mereka dambakan. Kendati untuk itu, mereka pun mesti harus berjuang keras menghadapi antrean yang lama dan panjang. Belum lagi mesti menghadapi keengganan para petugas kesehatan yang sering kali berwajah masam ketika harus melayani si miskin itu.
Sayangnya, keindahan berupa layanan kesehatan gratis masih langka di negeri ini. Dari seluruh provinsi negeri ini, baru segelintir saja yang menyatakan siap memberikan layanan kesehatan gratis pada masyarat. Segelintir di antaranya adalah DKI Jakarta dan Palembang.
Pertanyaan berikut yang muncul adalah mengapa hanya mereka yang berani berkata lantang untuk memberikan layanan kesehatan gratis dan murah pada masyarakat? Apa kabar dengan pejabat-pejabat lain yang juga berkoar membela rakyat pada saat kampanye? Tidakkah mereka berani mewujudkan hal serupa dengan memberikan layanan kesehatan gratis dan murah pada masyarakat?
Apa kabar pula dengan hak-hak pasien yang sering terabaikan? Mereka yang mengalami kasus malapraktik dan seperti kehilangan arah ketika akan melawan. Tentu saja, kasus Prita tak akan terlupakan begitu saja. Perjalanan panjang yang melelahkan untuk seorang ibu demi mendapatkan kebenaran. Bagaimana dengan kasus pasien yang justru harus banyak berkorban padahal dia berada di pihak yang benar. Manakah keadilan untuk pasien?
Saat ini kita masih bisa berharap. Semoga saja tidak ada lagi bayi Dera lain yang akan meregang nyawa. Mereka tak sempat berlama-lama menghirup udara dunia bukan lantaran orangtuanya tak sayang. Mereka harus kembali ke pangkuan Sang Khalik karena mereka miskin, teraniaya, dan tak berdaya.
Betapa indahnya mimpi kita semua jika negeri ini dapat memberikan kenyamanan pada warganya berupa kesehatan gratis, pendidikan murah, sampai taraf hidup yang layak. Tentu saja, ini tidak hanya untuk segelintir masyarakat, tetapi berlaku untuk semua warga negeri gemah ripah loh jinawi ini. Semuanya bukan mustahil terwujud. Masalahnya, adakah niat untuk mewujudkan itu semua?