REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Syalaby Ichsan/ Editor ROL
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat bakal digelar di Bali pada akhir bulan ini. Santer terdengar saran dari anggota Majelis Tinggi dan Dewan Pembina agar kongres menggunakan mekanisme musyawarah untuk mufakat yang berujung kepada wacana aklamasi.
Usul paling jelas datang dari anggota dewan pembina Hayono Suyono. Buat dia, aklamasi bakal menghindarkan Partai Demokrat dari kegaduhan karena voting. Mafhum, keadaan partai sedang kritis dan dalam krisis.
Dia pun mengimbau tidak perlu dilakukan pemilihan suara secara voting dengan melibatkan unsur ketua DPD provinsi, dan ketua DPC kabupaten/kota.
Hanya, Hayono berdalih bukan berarti mereka tidak diperhatikan dalam KLB. Kehadiran mereka di Bali pun, tuturnya, menunjukkan kalau Majelis Tinggi Partai Demokrat ingin merangkul semua kader partai agar tercipta soliditas.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, aklamasi diartikan sebagai pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara.
Artinya, ada kondisi tidak ada perbedaan pendapat berarti antara pengurus Partai Demokrat yang mensyaratkan terjadinya aklamasi. Apakah Partai Demokrat sedang dalam kondisi itu? Sepertinya tidak.
Partai berlambang bintang mercy itu masih dihadapkan pada perpecahan usai mundurnya Ketua Umum Anas Urbaningrum. Anas yang menjadi tersangka kasus korupsi Proyek Hambalang itu masih 'menitipkan' beberapa orang dekatnya di Partai Demokrat.
Untuk masalah KLB, publik mendengar pernyataan Wakil Sekretaris Jendral Saan Mustopa yang mengaku siap untuk maju sebagai calon ketua umum. Saan yang notabene orang dekat Anas, ingin menguji apakah 'faktor Anas' masih ada taji pada pengurus Partai Demokrat di daerah.
Lalu apa yang akan kita lihat pada kongres tersebut? Apakah publik akan melihat kompetisi atau aklamasi? Apakah Partai Demokrat akan mempertahankan prinsip demos (rakyat) dan kratos (kekuatan).
Seperti yang tertera dalam misi Partai Demokrat, memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat.
Untuk menggambarkan ironi ini, saya hendak mengutip essai singkat pakar semiotika kiri, Roland Barthes soal Wajah Garbo. Dia menggambarkan make up artis Hollywood era 50-an terkenal bernama Greta Garbo.
Saat bermain dalam Film Queen Christina, Garbo mengenakan wajah yang tidak terdefinisikan secara seksual. Apakah pria atau perempuan.
Akan tetapi, Garbo tampak selalu sendiri. Tidak tampak kepura-puraan disana. Dia seakan mencari jati diri. Seperti Christina yang merupakan perempuan dewasa sekaligus pemuda angkuh. Dalam satu tubuh. "Wajahnya tidak menunjukkan realitas apapun selain kesempurnaan,"kutip Bhartes.
Jika menganalogikan Partai Demokrat dengan tubuh Garbo. Berhasilkah dia menjadi jati diri sesuai dengan namanya? Atau, Partai Demokrat malah lebih memilih kesempurnaan ketimbang realitas? Kita tunggu saja.