REPUBLIKA.CO.ID, Bawang merah dan bawang putih adalah judul dongeng anak-anak Indonesia yang sangat populer. Dalam dongeng tersebut dikisahkan betapa bawang putih begitu apes nasibnya, sementara si bawang merah selalu bernasib baik. Ya, bawang putih selalu dikalahkan bawang merah.
Dalam kehidupan nyata, bawang merah dan bawang putih dalam negeri dikalahkan sesama bawang merah dan bawang putih yang berasal dari negara lain. Sebut saja seperti Cina, India, Thailand, Malaysia, Belanda, dan Perancis. Data Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan bawang putih lokal hanya memenuhi lima persen kebutuhan dalam negeri. Sementara 95 persen sisanya dipenuhi dari impor.
Lalu bagaimana dengan bawang merah lokal? Meski Kementan mengklaim bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada, dimana 90 persen kebutuhan bawang merah dipasok dari petani lokal. Namun, fakta di lapangan menyebutkan Indonesia masih mengimpor kurang lebih 30 ribu ton bawang merah per tahun akibat kekurangan pasokan pada periode Januari-Maret.
Tak hanya mengalahkan posisi bawang lokal, bawang-bawang impor ini juga telah mengacaukan harga jual bawang di dalam negeri. Hanya dalam waktu tiga minggu, harga bawang putih dan bawang merah meroket hingga 300 persen. Para ibu rumah tangga, pedagang sayur, pengusaha rumah makan, pun berteriak.
Membanjirnya bawang impor, terutama bawang putih, telah membuat negara agraria yang sangat kaya ini terlena. Terlebih harga bawang putih impor jauh lebih murah dibandingkan bawang putih lokal. Alhasil beberapa tahun terakhir di pasaran, tidak sulit untuk menemukan produk bawang putih impor ini. Pasalnya, para pedagang lebih memilih untuk menjual bawang putih impor dibandingkan bawang putih lokal.
Namun, ketika terjadi kenaikan harga jual di negara eksportir, Indonesia pun terkena dampaknya. Beberapa pedagang di Pasar Induk Kramatjati mengungkapkan, kenaikan harga tersebut dipicu oleh kurangnya pasokan dari Cina, yang merupakan eksportir terbesar bawang putih ke Indonesia. Selain itu, Cina juga mengalami kenaikan harga bawang putih dari Rp 13 ribu menjadi Rp 18 ribu karena naiknya permintaan masyarakat lokal.
Mengenai ini Badan Pangan Dunia (FAO) telah memprediksi dalam medio 2010–2030, kenaikan harga pangan akan terus terjadi. Negara-negara penghasil pangan nantinya akan mengurangi ekspor komoditas pangannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Apa yang diprediksikan oleh FAO ada benarnya. Dulu, perlambang negara adidaya itu adalah senjata. Senjata yang jika diperluas lagi menjadi sistem pertahanan dan keamanan negara menjadi formula utama yang menjadi indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara. Lihat saja Amerika Serikat dan Rusia yang menjadi Negara Tirai Besi selama beberapa puluh dekade. Keduanya sempat memimpin ekonomi dunia.
Bagaimana kondisinya sekarang? Fenomena senjata itu berganti menjadi mentega. Jika diperluas lagi, mentega itu adalah bahan konsumsi masyarakat suatu negara. Ya, negara yang kuat dengan konsumsi domestiknya mampu menjadi pemimpin kemajuan ekonomi di dunia saat ini. Cina dan India adalah contoh negara yang memiliki mentega itu. Bagaimana dengan Indonesia?.
Penyebab lain kenaikan harga bawang adalah menurunnya produktivitas di sentra produksi dalam negeri. Menurut Kementan, secara produktivitas, Indonesia masih kalah dengan Cina. Lahan pertanian bawang putih di Indonesia hanya mampu menghasilkan 12 ton per ha, sedangkan Cina mampu memproduksi hingga 20 ton per ha.
Tak hanya itu, Cina juga sangat diuntungkan oleh dua musim yang dimilikinya. Hama ulat tanah yang menyerang bawang putih mulai berkembang saat musim panas, namun saat memasuki musim dingin hama tersebut akan mati dengan sendirinya. Sementara Indonesia memiliki musim kemarau yang panjang. Hal tersebut memungkinkan hama berpeluang lama menyerang tanaman bawang.
Untuk mengatasi persoalan yang dialami petani bawang putih lokal, dalam sebuah kesempatan di tahun 2011 silam Menteri Pertanian Suswono pernah menjanjikan akan menghidupkan kembali empat sentra bawang putih di Indonesia. Di antaranya di Tegal, Pemalang, Karanganyar, dan Lombok Tengah.
Entah janji tersebut sudah terealisasi atau belum, tapi yang pasti rakyat dari Sabang hingga Merauke sudah dibuat pening oleh lonjakan harga bawang yang gila-gilaan.