REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berjuta pertanyaan masih menggantung di benak masyarakat Indonesia, pascakebakaran yang melalap Gedung Sekretariat Negara (Setneg), Kamis (21/3) kemarin.
Sebab, bagaimana bisa gedung yang masuk dalam komplek Istana Kepresidenan yang seharusnya memiliki fasilitas super ketat dan lengkap, bisa kecolongan dan menjadi santapan si jago merah.
Kamis sore saat jarum jam hampir menyentuh pukul 17.00 WIB, para pegawai Setneg yang sedang bersiap pulang, dikejutkan dengan api yang membara dan asap yang membumbung tinggi dari sayap kanan gedung lantai III gedung yang berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat itu.
Anehnya, saat peristiwa berlangsung alarm tanda peringatan kebakaran di dalam gedung mendadak dikabarkan tidak berfungsi. Selain itu, alat bantu pemadam api atau hydrant juga sudah karatan dan sulit untuk dioperasikan. Kondisi itu diperparah dengan hanya ada satu mobil pemadam kebakaran berukuran kecil yang disiagakan di gedung tersebut.
Beberapa pegawai Setneg berhamburan dari arah sayap kiri gedung untuk menyelamatkan diri. Saat kebakaran terjadi, ruangan lantai III yang biasa digunakan untuk rapat kabinet sedang sepi. Karenanya, tidak ada yang mengetahui dari mana asal api yang tiba-tiba berubah menjadi raksasa yang sulit dijinakkan.
Mobil pemadan yang parkir di dalam gedung terlalu kecil dengan tangga yang terlampau pendek, sehingga tidak bisa menjangkau lantai III yang terbakar.
Kobaran api yang melalap Gedung Utama Setneg itu nyaris merambat dan menjilati Istana Negara, tempat Presiden SBY sedang memimpin rapat terbatas dengan beberapa menteri guna membahas masalah ekonomi saat peristiwa itu terjadi.
Perlu diingat, ini adalah kali pertama dalam sejarah Gedung Setneg yang terbakar. Dugaan sementara kebakaran terjadi karena arus pendek atau korslet listrik.
Gedung Setneg ada di dalam komplek Istana Negara dan Istana Merdeka yang berada di satu kompleks di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Dua gedung itu adalah dua bangunan utama yang luasnya 6,8 hektare area dan terletak di antara Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran.
Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas) yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung (Jalan Veteran). Sejajar dengan Istana Negara ada pula Bina Graha. Sedangkan di sayap barat antara Istana Negara dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara.
Awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun pada 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Saat itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih dari 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan gedung yang pada pemerintahan Hindia Belanda dikenal sebagai Istana Rijswijk, menjadi kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan negara.
Sepeninggal Presiden Ir Soekarno, tidak ada lagi presiden yang tinggal di sini, kecuali Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih tinggal di kediaman pribadinya di Jalan Cendana. Tapi Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan men-set up sebuah ruang kerja bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara, sehingga disebut sebagai Ruang Jepara serta lebih banyak berkantor di Bina Graha.
Meski selama ini tak ada kebakaran, pihak Setneg bersikeras jika pengamanan dan sistem kantor Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi tersebut tidak ada masalah.
Sekretaris Menteri Sekretaris Negara (Sesmensesneg) Lambok V Nahattands dalam jumpa pers mengakui banyak bahan yang mudah terbakar di ruang sidang tersebut. Tapi ia mengklaim sebelum mobil Damkar DKI Jakarta datang sudah diupayakan maksimal, sehingga tidak merambat sampai ke tempat lain dan lantai II. Kabar jika pipa hydrant sudah berkarat dan sempat sulit dioperasikan petugas Damkar DKI juga dibantah Lambok.
Terlepas dari semua itu, ada benang merah yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut, yakni terbakarnya rumah kepala negara. Jika kediaman orang nomor satu di Indonesia saja bisa terbakar, bagaimana rumah rakyatnya?
Anehnya, sehari sebelum kebakaran di Gedung Setneg, bencana alam juga menimpa keluarga Presiden SBY di Pacitan, Jawa Timur. Sejumlah pohon besar dan puluhan rumah rusak akibat diterjang angin puting beliung, salah satunya rumah milik orang tua Presiden SBY.
Rumah almarhum Raden Soekotjo, orang tua Presiden SBY di Desa Punung, Kecamatan Punung, hancur lebur. Sejumlah genting rumah terlepas akibat tidak kuat menahan kencangnya hembusan angin.
Dua peristiwa alam itu disimpulkan lain oleh mantan ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. "Ketika Alam Bicara," tulis Anas dalam status BlackBerry, Kamis (21/3) pukul 21.00 WIB.
Entah pertanda apa, tapi dalam satu pekan terakhir Presiden SBY juga sedang kebakaran jenggot. Alasannya tak lain tak bukan isu bakal terjadi demo besar-besaran, Senin (25/3) mendatang untuk menggulingkan SBY dari kursi Presiden RI.
Beragam peristiwa politik dan hukum dalam beberapa bulan terakhir yang melibatkan Partai Demokrat yang bermuara kepada Presiden SBY dan keluarhanya, seperti menjadi bom waktu. Mulai dari ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka, hingga tudingan Yulianis yang menyebut Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas ikut menikmati uang haram proyek Hambalang. Apalagi, kasus korupsi itu juga menyeret mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dan mantan menteri pemuda dan olahraga, Andi Mallarangeng.
Kini barisan sakit hati Partai Demokrat sedang merapatkan barisan untuk menyudutkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu. Rentetan peristiwa itu cocok dengan peribahasa api; kecil jadi teman, besar jadi lawan.