REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hazliansyah/ Editor Hiburan dan Film ROL
Tanggal 30 Maret kemarin insan perfilman di Indonesia kembali merayakan Hari Film Nasional. Hari yang
seharusnya dijalani dengan suka cita oleh insan film di Indonesia dan pemerintah yang selalu mengatakan film sebagai salah satu medium strategis dalam pembangunan karakter bangsa.
Namun apa yang terjadi, Hari Film Nasional ke-63 kemarin berjalan biasa, bahkan bisa disebut tanpa perayaan. Padahal sekitar tiga bulan lalu, Kemenparekraf, satu dari dua kementerian yang "memayungi" perfilman di Indonesia mengatakan akan membuat sesuatu dalam perayaan Hari Film Nasional.
Kala itu, di hadapan wartawan, Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Prof Dr HM Ahman Sya, mengatakan pihaknya tengah menyiapkan penyelenggaran Hari Film Nasional.
Penyelenggaraannya tidak cuma acara seremonial belaka. "Kami tidak ingin hanya seremonial, paling tidak ada forum untuk membedah apa dan mengapa tentang film Indonesia di masa lalu, sekarang dan ke depan," ungkapnya kala itu.
Beruntung ada satu dan dua pihak yang "masih ingat" dan konsisten dengan Hari Film Nasional. Salah satunya adalah Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (Senakki). Bertempat di Gedung Film, Senakki mengadakan peringatan Hari Film Nasional ke-63 dengan mengadakan dialog Insan Film.
Dialog menghadirkan Wamen Dikbud Wiendu Nuryanti, Seketaris Jendral Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara dan pelaku perfilman seperti Hanung Bramantyo, Deddy Mizwar, Djonny Syafruddin dan lain-lain.
Dalam dialog, muncul masalah-masalah perfilman. Masalah yang sebenarnya telah digaungkan para pelaku perfilman sejak lama, namun belum juga ada penyelesaian hingga kini.
Jadi bisa dibilang, perayaan kemarin sebagai momentum untuk meratapi masalah perfilman di Indonesia. Dari sekian banyak masalah yang ada, satu yang paling mendasar adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Sejak disahkan pada 8 September 2009 hingga detik ini, tidak ada satupun pasal yang dijalankan. Jangankan hadirnya PP ataupun Permen sebagai acuan pelaksanaan UU, tugas, pokok dan fungsi dari dua kementerian yang memayungi film saja tidak jelas. Pembagian wewenang antara Kemendikbud dan Kemenparekraf soal film masih juga belum selesai.
Hal ini sangat dikeluhkan para pemangku kepentingan perfilman, apalagi produk dari UU Perfilman dari awal ditolak oleh mereka yang kemudian membuat petisi dan meminta DPR-RI periode 2009-2014 dan Presiden RI meninjau kembali UU tentang Perfilman.
Mereka menilai pengesahan UU tidak mengindahkan imbauan penundaan yang sudah disampaikan banyak pihak. "Banyak kewajiban pemerintah yang belum dilakukan hingga saat ini, dan yang paling miris negara tidak melihat lagi film
sebagai hal yang pokok," ujar produser film, Zairin Zain dalam dialog yang digelar Kamis (28/3).
Senada dengan yang disampaikan Zairin, aktor serta produser yang kemungkinan besar segera duduk dalam kursi pemerintahan, Deddy Mizwar dengan lantang mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan sejarah.
"Adanya UU Perfilman yang dua kementeriannya sampai saat ini belum jelas pembagiannya. Tidak ada PP yang lahir. Maka jadilah perfilman seperti ini," kata Deddy.
Deddy Mizwar kemudian mengimbau untuk dilakukannya Judicial Review terhadap UU tersebut. Ia menganggap, selain belum juga dilaksakannya UU tersebut, pasal dalam UU juga banyak yang dirasa tidak tepat.
"Dalam peredaran di bioskop misalnya, pemerintah mengharuskan diisi 60 persen film Indonesia, dan harus film Indonesia yang baik. Lalu parameter film Indonesia yang baik itu apa?" tanya Deddy.
Ia kemudian mengatakan bahwa hal ini harus dilihat ulang. "UU perfilman bukan Alquran, kita masih bisa ubah," kata Deddy.
Berbeda lagi dengan Hanung Bramantyo. Dengan menggebu-gebu, sutradara muda yang banyak menghadirkan karya sensasional ini mengutarakan isi hatinya yang sangat tertekan.
Hanung mengatakan, sebagai pribadi yang sudah terjun ke industri film, ia banyak dirugikan dengan tidak jelasnya peraturan. Hanung mengisahkan bagaimana dirinya dihadapkan dengan sekelompok orang yang menolak kehadiran filmnya. Kelompok itu, dengan lantang mengancam menurunkan filmnya dari bioskop.
Padahal di satu sisi, Hanung telah mengikuti semua peraturan yang ada dalam pembuatan film. Bahkan ia sendiri yang
mengurus sensor dan filmnya dinyatakan telah lulus sensor. Konten dalam filmnya dinyatakan tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam sensor.
"Tapi pas film sudah di gedung bioskop, saya tidak tahu apa saya berada di bawah lindungan LSF," kata Hanung.
Semua itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah benar-benar serius dan masih menganggap film sebagai salah satu produk yang penting bagi bangsa.
Untuk itu pemerintah sudah seharusnya menyegerakan pelaksanaan UU. Yang paling penting lagi, adalah kejelasan pembagian wewenang antara Kemendikbud dan Kemenparekraf.
Dengan adanya dua kementerian yang menaungi film, seharusnya menjadi kelebihan yang besar bagi perfilman Indonesia. Karena segala sesuatu hal yang ada dalam film akan terurus dengan benar dan detail.
Para pemangku kepentingan perfilman sendiri telah berikrar, dengan atau tanpa dukungan dari pemerintah mereka tetap membuat film. Mereka tetap membuat film dan membawa karya mereka ke pentas dunia dengan membawa nama Indonesia.
Namun hal ini akan jauh lebih baik jika pemerintah turut serta dalam perwujudan hal tersebut. Pemerintah berperan aktif dalam seluruh mata rantai perfilman, mulai dari produksi, eksibisi, apresiasi dan studi.
Sehingga pemerintah tidak hanya mengklaim bahwa film di Indonesia terus mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas ataupun kualitas, namun turut serta mendampingi dan memfasilitasi hal tersebut bisa terwujud.