REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A Syalaby Ichsan/ Editor ROL
Martin Richard berdiri di dekat garis finis. Bocah berusia 8 tahun itu tengah menunggu ayahnya menyelesaikan lomba maraton di Jalan Boylston, Boston, Senin (15/5). Anak ingusan itu berdiri bersama dengan ibunya Denise dan adiknya yang masih berusia enam tahun.
Dua bom meledak berurutan jelang garis finis. Jaraknya hanya berbelas detik. Martin tewas. Denise kritis karena mengalami cedera di otak. Sedangkan adiknya harus kehilangan kaki. Berita terakhir, dua ledakan itu berasal dari bom yang diletakkan dalam sebuah panci.
Total ada tiga korban tewas. Ratusan lainnya luka-luka. Dokter bedah di unit gawat darurat beberapa rumah sakit di Boston pun sibuk mengamputasi kaki-kaki para korban.
Belum ada tersangka yang ditangkap. Apalagi pelaku yang mengaku bertanggungjawab. Hingga kini, bom Boston yang tiba-tiba itu masih sumir. Kota kaum patriot Amerika itu pun menjadi sorotan dunia.
Sayang, beberapa pihak coba menuding kelompok Islam tanpa bukti. Bahkan, seorang pria arab ditangkap hanya lantaran panik dan kabur akibat ledakan itu. Di CNN, beberapa pengamat terorisme mulai menyebut kemungkinan peran Alqaidah dan kelompok islam fundamentalis bertanggungjawab seperti yang terjadi pada peristiwa 11 September 2003 lalu.
Di belahan dunia timur, beribu kilometer dari Boston, bom meledak berurutan di tiga kota Irak. Baghdad, Kirkur, dan Tuz Khumato. Reuters mencatat korban mencapai 33 jiwa. Di Baghdad, 'teroris' menaruh bomnya di mobil dekat bandara.
Dua bom pun meledak bergiliran. Membunuh dua penumpang yang hendak pergi dari sana. Di Kota Tuz Khumato, empat bom bahkan menyerang patroli polisi. Ledakan tersebut membunuh lima nyawa sekaligus.
Rangkaian bom itu meledak menjelang pagelaran pemilu provinsi Irak. Pada Sabtu pekan ini, Warga Irak akan menyalurkan suaranya untuk memilih anggota dewan provinsi di balai kota. Pemilihan suara untuk 450 dewan provinsi penting bagi Perdana Menteri Nuri al Maliki.
Di Irak, rutinitas ledakan bom sudah seperti liga sepak bola. Frekuensi bom mobil bisa dua minggu hingga seminggu sekali. Seperti di Boston, korban bom Irak tidak memilih. Ledakan itu menyasar lelaki, orangtua, perempuan dan anak-anak. Sesukanya. Seringnya berita bom di Irak mungkin membuat pembaca jengah. Wajar jika hits berita bom tersebut hanya mentok hingga di angka 2000.
Hanya, Baghdad dan Boston memang berbeda nasib. Boston menjadi kota terawat dengan ragam sejarah dan budaya yang terjaga. Sedangkan Baghdad lebih mirip sebagai kota perang. Pertengkaran berbau sekterian tak juga mereda di kota seribu satu malam ini.
Mata dunia pun terpalingkan ke Boston saat ada bom yang meledak. Meski korban di Baghdad dan beberapa kota lainnya lebih besar, jarang yang memperhatikan bom tersebut dan siapa yang bertanggungjawab.
Mengenai hal ini, laporan the Guardian bisa menjadi sedikit titik cerah. Usai invasi setahun ke Irak, Pemerintah Amerika Serikat secara rahasia menugaskan pasukan khusus pensiunan untuk melatih milisi syiah. Bukan pelatihan biasa.
Kolonel James Steele, komandan yang bertanggungjawab atas latihan tersebut membekali para milisi dengan seni penyiksaan dan teknik perang lainnya. Milisi itu dibekali ketrampilan perang untuk melawan pemberontak Sunni yang nakal melawan pemerintahan Nuri Al Maliki.
Pelatihan itu meninggalkan milisi dengan kekuatan pembunuh. Menciptakan kekacauan dan bom. Menurut The Guardian, mantan Sekretaris Kementerian Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfled menjadi penanggungjawab atas kehadiran James Steele. Lalu, apakah informasi ini didengar? Rasanya, keterlibatan Amerika Serikat dalam teror di Irak tak seseksi keterlibatan Islam fundamentalis di Boston. Wallahualam.