REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A.Syalaby Ichsan/Editor Rol
Di Kedung Halang, kehidupan begitu gersang. Kelurahan yang terletak di pinggir Jalan Raya Kedung Halang, Kota Bogor itu disesaki oleh industri. Disana, berkumpul beberapa pabrik konvensi yang mempekerjakan ribuan buruh.
Saat jam makan siang, mereka keluar berjamaah dengan seragam kemeja lapangan biru. Tentu saja terdapat logo perusahaan di dada kanan. Beberapa menyempatkan diri untuk Shalat, lainnya hinggap ke warung makan.
Rata-rata, mereka tinggal di kontrakan. Per kamar, mereka harus bayar sekitar Rp 300.000 hingga Rp 350.000 per bulan. Buat yang berkeluarga harus berjejal-jejal. Suami, istri dan anak meringkuk dalam satu kamar.
Yusuf Djamali, Ketua RW setempat kerap mendengar gelisah kehidupan mereka. Pria paruh baya yang sudah puluhan tahun tinggal di Kedung Halang ini mengungkap, para buruh itu merupakan pekerja musiman. "Kalau mau lebaran pada di-PHK,"ujarnya.
Jumlahnya bukan ratusan. Tahun kemarin saja, terdapat duaribuan buruh yang harus diputus kontrak. Di saat yang sama, perusahaan akan kembali membuka lowongan pekerjaan untuk duaribu pekerja lagi.
Buruh yang dipecat tahun lalu pun mendaftar meski tahu bakal 'dipecat' kembali tahun depan pada tanggal yang sama. "Pokoknya mau lebaran,"jelas Yusuf.
Jika dipecat, maka para suami akan meminta keikhlasan istrinya untuk mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan yang baru saja memutus kontrak. Jika diterima, Istri akan menggantikan suaminya bekerja. Sementara suami akan menjaga anak, memasak dan membersihkan kontrakan.
Untuk buruh bujang, harus mencari pekerjaan baru. Jadi tukang parkir atau menjadi pengojek - untuk pekerja yang memiliki harta motor. Mereka bekerja serabutan sambil menunggu tahun depan untuk memasukkan kembali lamaran baru.
Begitulah kehidupan para buruh di Kedung Halang. Hari demi hari. Tahun demi tahun. Maka, janganlah bertanya berapa tabungan yang dapat mereka sisihkan. Dengan gaji hanya berkisar Rp 1,5 juta (di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten Bogor Rp 2 juta) mereka hanya 'pantas' bertahan hidup dan mengganjal perut.
Sekarang adalah 1 May. Hari Ulang Tahun Buruh Internasional berjuluk May Day. Semua buruh merayakan hari itu. Juga buruh-buruh konveksi di Kedung Halang. Kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi hadiah untuk meliburkan hari raya itu. SBY bergumam, pemerintah ingin menaikan kesejahteraan pekerja.
“Kita tidak ingin pertumbuhan ekonomi baik tapi pekerja jalan di tempat. Secara moral tidak adil,” kata SBY saat menerima sejumlah pimpinan federasi dan konfederasi buruh di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/4).
Tetapi, kalaupun ada kenaikan tingkat kesejahteraan, maka hal tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan negara termasuk perusahaan. Sebab, pemerintah pun tidak ingin perusahaan merugi karena mengupah pekerjanya terlalu tinggi.
Pidato SBY itu memang terkesan 'bijak'. Dalam situasi ini, Presiden harus membela rakyatnya, yakni buruh dan membela kepentingan ekonomi negara, yakni pengusaha.
Sayang, buruh-buruh konveksi itu tak akan terlalu memedulikan pidato Bapak Presiden. Dalam pernyataan itu, tak ada pembelaan soal status buruh musiman. Buruh yang bekerja tanpa kepastian status dan tunjangan yang hanya dimiliki karyawan.
Apapun kondisinya, buruh-buruh konveksi itu harus bertahan. Setidaknya hidup untuk tahun ini. Meski tahu bakal kembali 'dipecat' tahun depan.