Rabu 26 Jun 2013 06:00 WIB

Bangun, Wahai Polisi Tidur!

Abdullah Sammy
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy/Editor Harian Republika

Gus Dur pernah berkata, “Di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi Hoegeng, polisi tidur, dan patung polisi.”

Bagi saya, pernyataan Gus Dur tak sekadar canda. Ucapan Gus Dur adalah gambaran nyata.

Pembuktian ucapan Gus Dur pun sangat mudah didapati. Cukup berurusan dengan polisi di jalan, kita bisa menafsirkan sendiri kejujuran korps kepolisian.

Saya ingin menceritakan pengalaman pribadi berurusan dengan polisi, beberapa waktu lalu. Saat itu, saya memacu motor di tengah macet di kawasan Mampang. Dasar kurang disiplin, saya coba mengakali kemacetan dengan menerobos aturan.

Lampu merah coba saya terobos. Saat baru melewat zebra cross, saya dibuat terkejut bukan kepalang. Seorang polisi muncul lalu mengadang. Prittttt... bunyi peluit pun ditiup si polisi. Saya disuruh menepi.

“Selamat siang, Pak,” tegur si polisi membuka percakapan. Teguran yang sangat sopan yang lantas meluluhkan ketegangan.

Polisi itu kemudian melanjutkan perkataan, “Tahu pelanggaran kamu?” Saya pun mengangguk menjawab pertanyaan si polisi.

Tak butuh kalimat basa-basi lainnya, polisi itu langsung pada tujuan. “Ini gimana, mau langsung ditilang aja?”

Spontan, saya pun menjawab, “Jangan, Pak!”

Polisi itu lantas menggiring saya bersama motor melintasi lampu merah untuk menepi di warung makanan. Lucunya, saat digiring polisi itu saya kembali melanggar aturan. Sebab, lampu saat itu masih merah.

Singkat cerita, situasi menjadi jenaka di dalam warung. Ternyata, ada sekitar empat polisi yang sedang duduk-duduk sambil merokok. Mereka mencoba meledek saya dengan sebutan “si Arab”.

Dalam situasi jenaka itu, si polisi penilang kembali melanjutkan perkataannya yang sempat terputus di depan lampu merah.

“Tadi katanya gak mau ditilang. Berarti ngerti kan?” Pertanyaan dari si polisi jelas saya tahu muaranya. Tapi, saya pura-pura bodoh saja. “Gak ngerti, Pak,” ucap saya sambil menggeleng.

Polisi itu lantas menerangkan bahwa saya harus membayar uang Rp 300 ribu sebagai denda langsung di tempat. Bila saya memberi Rp 300 ribu kepada si polisi, habislah perkara lalu lintas di Jakarta.

Petikan cerita saya di atas mungkin sudah sering dialami masyarakat luas. Memang, tak semua polisi berperilaku seperti oknum di perempatan Mampang itu. Tapi, suka atau tidak, banyaknya oknum polisi yang suka memeras itulah yang membuat citra polisi rusak di masyarakat.

Walhasil, kata kejujuran menjadi susah ditempatkan sebagai identitas kepolisian. Nominal uanglah yang justru lebih sering mendampingi kata kepolisian di halaman pemberitaan.

Hal tersebut tak terlepas dari kasus korupsi yang bermunculan di jajaran petinggi polisi. Kasus makelar hukum atau korupsi simulator SIM menjadi rujukannya.

Wajar saja jika masyarakat berpikir, petinggi kepolisian tak beda dengan oknum polisi jalanan. Pandangan itu makin diperkuat dengan terungkapnya kasus suap di internal Mabes Polri.

Petugas Bareskrim Mabes Polri menangkap seorang perwira berinisial ES yang menjabat sebagai wakil direktur di salah satu satuan di Polda Jawa Tengah. ES ditangkap pada Jumat (21/6) malam di lingkungan Mabes Polri. Bersamanya, ditangkap perwira Polda Metro Jaya berpangkat komisaris polisi.

Pihak Polda Jawa Tengah membenarkan ada perwiranya yang ditangkap tim Bareskrim Polri karena diduga hendak melakukan suap terkait jabatan. Dari informasi yang diperoleh di kalangan wartawan, kasus ini diduga terkait mutasi di lingkungan Polri.

Suap itu diberikan kepada sang komisaris polisi yang diduga sebagai perantara. Dan, diduga pula ada pejabat Polri yang merupakan muara dari uang suap ES.

Khusus dalam kasus ini, saya harus angkat topi pada aparat Bareskrim Polri. Karena, jarang-jarang polisi berani menangkap polisi dalam perkara korupsi. Sebuah harapan besar muncul soal perbaikan di kepolisian.

Namun, dari besarnya harapan muncul pula tanda tanya soal tertutupnya kasus ini. Muncul pula teka-teki mengenai siapa yang jadi muara suap?

Semua pertanyaan ini harus bisa dijelaskan Polri secara transparan. Ini agar tak terkesan operasi polisi tangkap polisi tak ada hubungannya dengan persaingan menjelang pemilihan Kapolri.

Sejarah pemilihan Kapolri sebelumnya juga sempat dibumbui kasus polisi tangkap polisi. Kasus ini pun bermuara kepada beberapa jenderal. Nama Susno Duadji yang awalnya diunggulkan melenggang sebagai calon Kapolri lantas tumbang ketika kasus suap perkara kasus menjerat namanya.

Mudah-mudahan saja, kasus yang muncul kali ini tak lagi ada hubungannya dengan pemilihan Kapolri.

Terlepas dari teka teki di balik kasus suap, publik kini menanti tindakan nyata polisi. Tindakan nyata untuk mencegah agar tidak ada lagi polisi yang mudah tergoda rayuan uang. Mulai dari aparat di jalan, hingga petinggi kepolisian diharap memegang teguh kejujuran. Kejujuran seperti yang pernah dimiliki seorang Kapolri Hoegeng.

Kalaupun polisi tidur dianggap sebagai polisi paling jujur di negeri ini, semoga ada keajaiban yang membangunkannya dari tidur panjangnya. Semoga, polisi tidur itu bangun dan membuka mata hatinya untuk memperbaiki hukum di Indonesia.n

Twitter: @Sammy_Republika

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement