REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Akbar Wijaya (Wartawan Republika)
Manusia modern ditindas bukan oleh manusia lain. Tetapi sesuatu yang anonim yakni sistem teknologi.(Herbeth Marcuse).
Mendekati bulan suci Ramadhan telepon genggam BlackBerry saya banyak menerima pesan berantai (broadcast messenger). Mayoritas pesan itu berisi permintaan maaf para pengirim sebelum menapaki ibadah puasa Ramadhan. Bagi saya meminta maaf bukan hal yang salah apalagi jelek. Meminta maaf merupakan tindakan terpuji yang mencerminkan sikap kerendahan hati seseorang mengakui kesalahan. Hanya saja saya merasa permintaan maaf yang disampaikan melalui broadcast messenger terasa kurang “mengena” ketika sebenarnya permintaan maaf itu bisa disampaikan secara langsung lewat pergaulan sehari-hari.
Fenomena meminta maaf melalui broadcast messenger menguatkan keyakinan saya akan besarnya pengaruh kapitalisme dalam sendi-sendi kehidupan kita. Tak ada sejengkal wilayah pun dalam tata pergaulan kita yang benar-benar terbebas dari gaya hidup “moderen”. Kapitalisme global mengubah kehidupan kita menjadi semacam drama kolosal yang menempatkan manusia sebatas figuran sambil lalu. Sebab skenario hidup sudah dimonopoli korporasi. Tugas kita hanya mengikuti dan membeli apa yang sudah mereka skenariokan.
Dalam situasi semacam ini kita mengenal apa yang disebut para psikolog sebagai manusia massa. Manusia yang dalam kata-kata Ortega Gasset “lahir secara tergesa-gesa, terasing dari sejarahnya, dan tidak memiliki masa lampau untuk berefleksi diri”. Gaya hidup manusia hanyut dalam gelombang raksasa bernama budaya massa. Sebuah budaya yang merombak habis tatanan simbolik, struktur makna, dan perilaku sehari-hari kita di masa lalu. Ada banyak contoh kongkrit tentang budaya massa manusia moderen. Salah satunya adalah fenomena tergesernya permintaan maaf konvensional (salaman) dengan broadcast messenger.
Di tataran simbolik, meminta maaf melalui broadcast messenger menawarkan kemoderenan karena dilakukan lewat alat komunikasi mutakhir bernama BlackBerry. Sebagaimana dipahami kebayakan orang sekarang, kemoderenan senantiasa diidentikan dengan kemutakhiran alias aktualitas. Orang baru diakui eksistensinya bila mampu mengaktualkan diri dengan produk-produk mutakhir. Singkat kata, mereka yang meminta maaf melalui broadcast messenger kerap merasa atau bahkan dianggap lebih moderen daripada mereka yang meminta maaf dengan bersalaman langsung.
Pada tataran struktur makna, broadcast messenger menawarkan kepraktisan karena kemudahan yang ditawarkan. Orang tidak perlu bersusah payah mengeluarkan biaya dan tenaga untuk saling menyambangi. Cukup tekan tombol, pesan yang diinginkan langsung tersampaikan. Semua serba mudah dan praktis. Nilai kepraktisan tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku sehari-hari manusia moderen. Salah satunya tercermin lewat sikap menganggap enteng orang lain. Persoalan sosial seakan-akan selesai hanya dengan rangkaian kata-kata. Rasa guyub dan ikatan batin hilang perlahan dari sendi-sendi kehidupan. Moralitas tak lagi menjadi sadaran utama hidup sebab semua sudah digantikan rasionalitas akal.
Dalam situasi di atas, kapitalisme yang termanifestasi lewat broadcast messenger telah berhasil membuat kita bergantung terhadap apa yang disebut instant culture (budaya instan). Lewat skenario terencana (produksi, distribusi, dan promosi), kapitalisme merancang “kebutuhan moderen” kita dan memaksa kita agar terus menerus mengikuti kebutuhan manusia moderen. “Budaya massa yang sosoknya nampak jelas lewat gaya hidup instan dan kosumtifistik sebenarnya adalah anak kandung dari kapitalisme itu sendiri,” kata Martinus Satya Widodo dalam Cinta dan Keterasingan Dalam Masyarakat Moderen: Kritik Erich Fromm Terhadap Kapitalisme.
Ketika manusia dipaksa terus menerus bergantung pada produk-produk kapitalisme berlakulah apa yang dikatakan Goethe: “Milikmu adalah roti yang tak pernah mengenyangkan.” Artinya, semakin rajin seseorang mengeksistensikan diri dengan membeli produk-produk mutakhir kapitalisme, semakin jauh dia dari rasa kepuasan. Inilah wajah manusia yang dalam istilah Erich Formm disebut sebagi homo cunsumers, yakni manusia yang berilusi dirinya bahagia dengan membeli padahal dinamika bawah sadarnya bosan dan pasif. Semakin dia mengkonsumsi, semakin ia menjadi budak kebutuhan yang terus meningkat, yang diciptakan dan dimanipulasi oleh sistem industri.
Betapapun kelamnya wajah kehidupan sosial kita hari ini, tidak berarti sejarah manusia kelam selamanya. Sejarah masa depan manusia bisa terang sepanjang ada kemauan untuk berani berkonfrontasi melawan hidup dan mempersoalkan segalanya. Termasuk mempersoalkan diri sendiri yang lebih gemar meminta maaf lewat broadcast messenger.