Selasa 06 Aug 2013 22:38 WIB

Merayakan Perbedaan

Wakil Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar (tengah) didampingi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil (kanan) serta Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen (kiri) saat sidang Itsbat penentuan awal Dzulhijjah 1443 H di Ka
Foto: Republika/Agung Supri
Wakil Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar (tengah) didampingi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil (kanan) serta Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen (kiri) saat sidang Itsbat penentuan awal Dzulhijjah 1443 H di Ka

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hafidz Muftisany/ Redaktur Republika

Beberapa waktu lalu saya kembali bertandang ke Yogyakarta. Tepatnya Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Ada yang menarik bagi saya saat membaca selebaran Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Jamaah Shalahuddin (JS) yang menghuni sayap selatan masjid kebanggaan UGM itu.

Terselip sebuah motto menarik, "Unity in Diversity". Nampaknya tahun ini menjadi pesta perayaan perbedaan yang diusung salah satu LDK tertua di Indonesia itu. Bersatu dalam Perbedaan. Nampak utopis dan normatif ya. Bagaimana mungkin memaksakan bersatu saat kita berbeda. 

Namun sebagai orang yang pernah tidur, makan, membaca, berteduh, belajar di LDK tersebut, saya bisa memaklumi. Lembaga keislaman umum seperti JS atau bahkan mungkin Salman ITB, Salam UI dan lainnya terdiri dari banyak corak Islam yang mewajahkan Islam kita hari ini.

Kita dapati ada dari mereka yang qunut saat Shubuh, ada yang meneruskan cita Kiai Ahmad Dahlan, Ada yang akrab dengan Hasan al Banna, tak sedikit yang berbicara khilafah, beberapa merapalkan kemurnian tauhid. Unity in Diversity.

Kini kita menemukan wajah itu dalam skala yang jauh lebih luas, Indonesia. Waktunya pun bisa ditebak, menjelang Ramadhan, jelang Idul Fitri, tak jarang saat lebaran haji. Pertanyaan yang sering diulang, mengapa sering berbeda untuk merayakan kemenangan?

Banyak ahli mengulas, banyak mimbar mengurai. Saya tak hendak masuk dalam pembahasan pilihan-pilihan fikih. Betapa perbedaan dalam masalah cabang dalam pilihan beragama tak bisa dihindarkan. Saya terngiang sebuah kaidah, bekerja sama dalam hal yang disepakati, saling menghormati dalam hal yang diselisihi. 

Semoga bukan menghakimi. Namun alangkah indah jika urusan umat ini diputuskan dalam kerangka syura. Syura, yang semua ormas Islam bersepakat adalah cara pengambilan keputusan yang terbaik. Syura adalah membicarakan perbedaan. Perbedaan dalah pasti. Namun ketika diputuskan, semoga ini yang terbaik untuk umat. 

Kadang, kepentingan ego sektoral harus ditepi. Karena sang menteri dari ormas tertentu, maka agak berat jika mengikuti keinginan sang menteri. Sebaliknya, sang menteri dan jajarannya jangan seolah menelanjangi ormas lain dalam sidang isbat.

Sidang isbat tertutup bisa jadi opsi terbaik. Masyarakat akan jauh lebih senang menunggu sang menteri mengumumkan hasil namun selalu kompak. Dibanding disuguhi dialog live sana-sini yang berujung pada perbedaan.

Semoga tidak ada ego sektoral jadi penumpang gelap pilihan-pilihan fikih. Bagaimana hendak mengisi shalat subuh sebanyak shalat Jumat sebelum kita menyelesaikan persoalan kebersamaan umat.

Wallahu A'lam 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement