REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya/Editor Republika Online
Dalam hitungan hari pemerintah akan memberlakukan program jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Salah satu sistem jaminan sosial yang akan diberlakukan per 1 Januari 2014 adalah di sektor ketenagakerjaan.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 mengenai BPJS disebutkan bahwa peserta program jaminan sosial adalah setiap orang, termasuk Warga Negara Asing (WNA) yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia. Sementara dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 2 UU BPJS disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan SJSN berdasarkan tiga asas, yakni kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengacu kepada ketentuan UU No. 24/2011, maka seluruh WNI yang bekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri (pekerja migran) berhak menikmati program jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah. Melalui keikutsertaan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan, maka para pekerja akan mendapatkan sejumlah manfaat, yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiunan, dan jaminan kematian.
“Program jaminan sosial tidak meng-cover tenaga kerja kita yang ada di luar negeri. Sebagai WNI, seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama,” ujar Nurus S Mufidah, Wakil Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, kepada Republika Online dalam sebuah kesempatan baru-baru ini.
Padahal, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri adalah aset bangsa meskipun sebagian besar mereka hanyalah pekerja unskilled. Kontribusi mereka terhadap negara pun tidak kecil.
Negara telah menerima manfaat ekonomi yang begitu besar dari para TKI migran ini dalam bentuk remitansi valas yang jumlahnya mencapai puluhan triliun rupiah. Mereka juga berkontribusi pada menurunnya angka pengangguran hingga berputarnya roda perekonomian perdesaan.
Sepanjang semester pertama (Januari-Juni) 2013 tercatat jumlah kiriman uang TKI dari luar negeri ke tanah air mencapai 3,715 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 36,89 triliun (asumsi kurs rupiah pada Juni Rp 9.929 per dolar AS). Data tersebut terkumpul dari sekitar 3,8 juta TKI yang bekerja di negara-negara kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika, Amerika, serta Eropa dan Australia.
Menurut Nurus, upaya yang tengah ditempuh saat ini agar para pekerja migran berhak atas program jaminan sosial adalah dengan mengajukan revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. “Kami akan usulkan kedepannya ada asuransi khusus untuk pekerja migran yang dikelola BPJS,” tambahnya.
Saat ini diakui Nurus, jaminan sosial yang dinikmati oleh mayoritas pekerja migran hanya berupa asuransi kesehatan. Sementara untuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiunan, dan jaminan kematian, mayoritas mereka tidak mendapatkannya.
Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Reyna Usman menuturkan sebagai ganti program jaminan sosial nasional, pihaknya akan mendorong adanya kontrak yang lebih jelas. “Misalnya mengenai jumlah gaji yang harus dibayar, pekerja harus mendapatkan asuransi, ada one day off, dan gaji harus ditransfer ke rekening bank,” terangnya.
Para pekerja migran bukan warga negara kelas dua. Mereka berhak memperoleh jaminan sosial secara wajar dan beradab sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Dengan demikian pemerintah perlu mengembangkan sistem jaminan sosial yang ruang lingkupnya mencakup TKI di mana saja mereka berada.