REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Arif Supriyono
Lebih separuh pembicara dalam diskusi panel soal partisipasi dan sosialisasi dalam Pemilu 2014 sudah duduk di kursi masing-masing. Pembawa acara juga sudah mengumumkan, bahwa diskusi panel sebentar lagi akan dimulai.
Beberapa saat kemudian, pintu ruang pertemuan terbuka. Seorong wanita muda masuk sembari membimbing seorang ibu yang sudah lanjut usia. Dari cara ibu itu berjalan, saya tahu bahwa beliau seorang tunanetra. Mereka berdua lalu duduk berdampingan dan berada di posisi yang bersebarangan dengan tempat saya duduk.Saya pun langsung membatin dan kagum luar biasa pada ibu itu. Meski tunanetra, ia masih sempat dan mau mendengarkan sebuah diskusi yang begitu serius yang digelar pekan lalu.
Saat Mbak Titi Anggraini (moderator diskusi sekaligus direktur Perludem/Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi yang menjadi tuan rumah acara tersebut) memperkenalkan narasumber satu per satu, saya langsung merasa malu dan minta maaf dalam hati berulang-ulang. Ah, ternyata ibu tunanetra yang saya perhatikan sedari tadi itu juga menjadi salah satu narasumber dalam diskusi panel. Saya merasa perlu meminta maaf karena ‘meremehkan’ beliau dan semula menduga hanya sebagai pendengar. Dari situlah saya tahu, nama beliau Dra Hj Ariani Soekanwo. Saya lebih suka memanggil Bu Ariani. Beliau menjabat sebagai ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat. Jabatan ini telah diembannya sejak 2004 lalu.
”Bisa-bisa itu jabatan seumur hidup. Ya, karena ketika saya minta agar diganti, tak ada yang mau,” ungkapnya dengan nada yang sama sekali tak ada penyesalan meski mendapat amanah itu terus-menerus.
Dengan intonasi jelas namun terdengar kalem, dia memaparkan aneka persoalan yang dihadapi para penyandang cacat/disabilitas dalam setiap pelaksanaan pemilu. Meski tak membaca, pemaparan Bu Ariani nyaris sama persis dengan isi makalahnya yang terdiri atas beberapa halaman. Bagaimana bisa?
Dalam menyiapkan makalah, Bua Ariani selalu ’membuat’ sendiri. Ide dan kalimat dia susun secara verbal. Kemudian, beliau meminta tolong sekretarisnya untuk mengetik ide dan rangkaian kalimat yang diucapkan tadi. Setelah hasil ketikan selesai, selanjutnya makalah tersebut dibaca dan direkam. Dari rekaman inilah Bu Ariani mengingat dan menghapalkan isi makalahnya. Daya ingat Bu Ariani sungguh luar biasa. Acap kali, satu halaman penuh makalah yang dia paparkan secara verbal sama persis (sampai titik-koma) dengan isi makalah secara tertulis.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Mochammad Afifuddin, pun seolah tahu kekaguman saya pada Bu Ariani sehingga membisikkan sesuatu pada saya. ”Kami pernah punya kerja sama dalam suatu acara dengan Bu Ariani. Nah saat Bu Ariani mempresentasikan makalah, apa yang diucapkan sama persis dengan seluruh isi makalah, termasuk beberapa istilah dan kalimat dalam bahasa Inggris,” kata Afifuddin. Saya pun manggut-manggut, mengagumi sosok wanita berusia 68 tahun itu.
Tanpa kenal lelah, Bu Ariani senantiasa menggaungkan kepada setiap pihak yang berwenang untuk memperhatikan dan mendata para penyandang cacat (disabilitas) supaya bisa berpartisipasi dalam pemilu. Dia menambahkan, betapa tingginya kesadaran politik para penyandang cacat.
”Kalau warga negara yang normal kan dirayu-rayu supaya mau didaftar dan ikut berpartispasi dalam pemilu. Kalau penyandang cacat kan malah menawarkan diri untuk didata. Kami ini ke mana-mana selalu minta agar petugas juga mendata kami. Seringkali malah petugas yang enggan atau mengabaikan keberadaan kami,” tuturnya.
Padahal, jumlah para penyandang cacat tak bisa dibilang sedikit. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penyandang cacat setiap negara rata-rata mencapai 15 persen dari seluruh penduduk. Jika kita ambil data paling rendah untuk penyandang cacat (10 persen) dan daftar pemilih tetap di Indonesia mencapai 187 juta jiwa, maka angka penyandang cacat yang memiliki hak pilih di Indonesia sekitar 18,7 juta jiwa.
Di balik kelembutan dalam bersikap, Bu Ariani menyimpan cerita lucu. ”Dulu waktu muda saya masih bisa melihat walau remang-remang dan tak jelas. Saya berani naik motor sendirian dan di setiap lampu merah selalu menunggu pengendara motor lain, untuk mengikuti petunjuk lampu lalu lintas. Kan saya tak bisa melihat lampu lalu lintas,” paparnya.
Bila tak ada pengendara lain yang melintas, Bu Ariani akan membelokkan motornya ke kiri biar aman. Kalau bertemu perempatan berikutnya dan tak ada lagi pengendara motor lain yang melaju berbarengan, dia kembali akan membelokkan motornya ke kiri dan begitu seterusnya. ”Akhirnya malah muter-muter tidak sampai-sampai ke tempat yang saya tuju,” kata dia sambil tertawa.
Itulah sekilas sosok Bu Ariani yang amat sederhana. Kalau ada pemilihan tokoh pegiat demokrasi, saya mengusulkan nama Bu Ariani menjadi salah satu nominasinya. Dengan pengabdiannya yang tulus dan tak kenal lelah dari satu forum ke forum lain selama lebih dari 10 tahun, Bu Ariani pantas menyandang anugerah itu.