REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Mansyur Faqih
Twitter: @m_faqih
Menjelang pemilu 2014, suasana keamanan di Aceh kembali memanas. Sepanjang awal tahun politik, setidaknya ada beberapa tindak kekerasan yang melibatkan senjata api di provinsi yang dianggap sebagai Serambi Makkah tersebut.
Pada Ahad (16/1) subuh, posko Partai Nasdem diserang oleh orang tak dikenal di jalan Line Exxon Mobil desa Kunyet Mule, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara. Menggunakan senjata laras panjang jenis M-16 dan A1, dua orang melepas tembakan ke arah posko. Tak ada korban jiwa dari kejadian ini. Hanya saja, tiga orang terluka karena dianiaya pelaku.
Kemudian, Ahad (2/3) malam, seorang caleg Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan dari Partai Nasional Aceh (PNA) tewas ditembak oleh orang tak dikenal. Peristiwa penembakan terjadi di Gunung Cot Mancang, Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan sekitar pukul 20.00 WIB. Dengan senjata laras panjang, pelaku melepaskan 42 kali tembakan hingga korban tewas di tempat.
Selasa (11/3) malam, sebuah granat meledak di kantor Partai Aceh (PA) di Kecamatan Lhueng Bata, Banda Aceh. Tak ada yang meninggal, tapi seorang bocah sembilan tahun terluka akibat pecahan granat. Terakhir, Senin (31/3) malam, sebuah mobil berstiker PA diberondong orang tak dikenal di Desa Geulanggang Teungoh, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen. Tiga orang tewas, satu di antaranya bahkan bocah berusia 1,5 tahun.
Kejadian ini sungguh disayangkan. Mengingat, masyarakat Aceh baru sebentar merasakan kedamaian setelah pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) yang berlangsung sejak 1990 hingga 1998. Apalagi, korban penembakan merupakan masyarakat sipil, bahkan anak-anak.
Berdasarkan informasi, tindakan kekerasan itu merupakan buntut dari perseteruan dua mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini tergabung dalam dua partai lokal yang berbeda. Perseteruan itu pun semakin memanas seiring dengan semakin dekatnya penyelenggaraan pemilihan legislatif pada 9 April mendatang.
Memang, berbeda dengan daerah lainnya, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki tiga partai lokal. Yaitu, PA, PNA, dan Partai Damai Aceh (PDA). Keistimewaan ini sebagai bagian dari kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM yang ditandatangani di Helsinki pada Juli 2005.
Seperti partai politik lain di Tanah Air, partai lokal itu akan bertarung untuk mendapatkan kursi di NAD pada pemilu mendatang. Meski pun, pertarungan mereka hanya pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun bagi sebagian, tampaknya pertarungan tak cukup hanya melalui jalur politik. Tapi sampai harus menumpahkan darah saudara sendiri.
Apalagi, kepemilikan senjata api masih menjadi rahasia umum bagi masyarakat Aceh. Padahal, berdasarkan perjanjian Helsinki, GAM harus menyerahkan seluruh senjatanya kepada pemerintah. Sebagai balasannya, Aceh dibolehkan mendirikan partai politik lokal untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Namun pada kenyataannya, banyak senjata yang masih tersimpan. Entah apa alasan mereka melakukan itu. Mungkin hanya untuk berjaga-jaga atau untuk melindungi diri. Tapi, satu hal yang pasti, banyak tindak kekerasan yang melibatkan senjata api. Karenanya, bisa jadi sebagian senjata itu yang belakangan melukai dan menewaskan masyarakat Aceh.
Lepas dari apa pun alasannya, kejadian ini harus dihentikan. Para elite harus turun dan ikut andil untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Masyarakat juga harus lebih bijak melihat pertarungan politik yang ada. Bahwa, perebutan kekuasaan hanya boleh dilakukan melalui jalur yang demokratis. Bukan dengan cara kekerasan.
Para elite di Aceh juga seharusnya mengingat kembali catatan sejarahnya. Yaitu, bagaimana masyarakat telah muak dengan berbagai kekerasan dari pertikaian antara GAM dan pemerintah sejak akhir 1980-an. Bagaimana kekerasan itu berlangsung lama dan baru mereda setelah Aceh dihantam tsunami yang memakan ratusan ribu korban pada 2004.
Mereka harusnya mengingat, bagaimana ketika itu muncul kebencian masyarakat terhadap pemerintah yang memilih mengambil langkah militer untuk mengatasi GAM. Mereka harus mengingat, bagaimana militer menjadikan teror sebagai taktik standar. Bagaimana tersangka simpatisan GAM ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan. Serta bagaimana mayat-mayat ditinggalkan di tempat umum untuk mengintimidasi penduduk.
Ini harus diingat kembali. Tapi, bukan untuk melakukan balas dendam kepada pemerintah atau kembali menggaungkan isu pelepasan dari NKRI. Melainkan, diingat agar tidak melakukan kesalahan dan dosa yang sama seperti yang dilakukan militer ketika itu. Bahwa, saat ini Aceh telah damai. Bahwa masyarakat tak ingin kembali merasakan ketakutan seperti yang pernah mereka alami sebelumnya.
Apalagi kini Aceh tengah bangkit dan memulai kembali pembangunan dari dampak tsunami yang memilukan. Seluruh masyarakat Aceh harus ingat itu. Jangan sampai kedamaian yang telah tercipta malah dirusak hanya karena perseteruan sesama saudara se-Tanah Air. Jangan ulangi dosa itu, saudaraku..