REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Suatu sore, seorang teman lama yang pernah beberapa tahun tinggal di luar negeri menghampiri saya. Dia mengajak saya makan. Karena telah hapal kebiasaan teman itu, saya pun menawarkan makan di warung lesehan pinggir jalan.
Tepat di samping kami, ada tiga anak muda yang sedang menyantap hidangan. Dari penampilan tiga anak muda yang perlente itu, saya memperkirakan mereka memiliki pendidikan dan pengetahuan yang tinggi. Mereka terlihat asyik mengunyah makanan sembari berbincang.
Tema diskusi mereka bukan masalah yang remeh-temeh tetapi masalah berat dan serius, yakni seputar calon presiden. Dengan jelas terdengar, bahwa mereka tengah membahas pentingnya restu dari negara adikuasa (Amerika Serikat) bagi seorang yang ingin maju menjadi calon presiden di Indonesia. Kami pun terkejut. Bukan soal tema diskusi itu yang membuat kami kaget tetapi justru pandangan dan pola pikir mereka.
Anak muda masa kini yang tentu berpendidikan cukup, nyatanya masih berpikiran seperti itu. Kami berdua tak habis pikir. Mengapa ada anak muda terlihat intelek namun beranggapan, bahwa untuk memimpin Indonesia harus ada restu dari negeri Paman Sam atau Amerika Serikat. Ini karena pendidikan kita yang salah atau karena pemahaman atas arus globalisasi yang tak tersaring dengan benar?
Siapa pun tahu, AS memiliki pengaruh yang luar biasa di seluruh penjuru dunia. Nyaris tak ada satu negara pun di jagat raya ini yang bisa lepas dari pengaruh AS, baik dari sisi ekonomi, budaya, atau politik. Namun mengaitkan penetapan calon pemimpin negara dengan restu AS tentu sebuah kesalahan besar dan mendasar.
Kita semua menyadari, seorang pemimpin atau presiden harus mampu menjalin hubungan baik dengan negara mana pun. Karena itu, kemampuan pemimpin untuk membina hubungan dan diterima dengan baik oleh negara lain merupakan salah satu modal penting. Apalagi, bila itu merupakan negara yang menjadi mitra utama Indonesia.
Jika prasyarat itu yang menjadi salah satu pertimbangan seseorang untuk memilih pemimpin, saya masih bisa memahami. Saya pun setuju, seorang calon presiden kita seyogianya tak punya kendala dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Dengan kata lain, pemimpin itu tidak sedang bermusuhan dengan negara lain yang akan menjadi salah satu mitra utama negara kita. Akan tetapi kalau syarat itu berupa restu dari negara lain, AS sekalipun, saya sama sekali tak bisa menerima.
Di mana letak kedaulatan kita sebagai negara merdeka, bila untuk memilih pemimpin saja harus minta restu negara lain? Kalau itu sampai terjadi, berarti negara kita benar-benar hanya menjadi boneka dari negara pemberi restu tersebut.
Penentuan seorang pemimpin sangat erat kaitannya dengan keaulatan, harga diri, dan kemandirian bangsa. Kalau untuk urusan ini pun kita harus tunduk pada kehendak negara lain, sama artinya kita sudah tak punya harga diri dan kedulatan lagi. Saya juga tak yakin negara adidaya itu mendikte dan menentuan siapa saja yang boleh maju sebagai capres. Jangan-jangan, kewajiban adanya restu dari AS ini merupakan pemikiran kita sendiri sekaligus bentuk rendah diri (inferiority) kita sebagai bangsa.
Mari kita kembalikan jati diri dan kedaulatan bangsa ini dengan berpikir dan bersikap merdeka. Jangan biarkan negara ini senantiasa berada di ketiak bangsa lain. Sudah selayaknya kita meluruskan pikiran keliru tenang prasyarat untuk maju sebagai calon presiden.Kalau yang dipertimbangkan dalam memilih pemimpin adalah kecilnya risiko bermusuhan dengan negara lain yang akan menjadi mitra utama kita, saya sependapat dengan hal ini. Namun kalau prasyarat itu berupa restu dari negara lain, apa pun bentuknya, sudah semestinya kita tolak mentah-mentah.
Faktanya, memang banyak bangsa lain yang memiliki ketergantungan tinggi pada negara lain. Oleh sebab itu, tak hanya dalam membuat kebijakan ekonomi dan politik saja bangsa itu tergantung pada negara lain. Bahkan, dalam menentukan pemimpin pun mereka tak bisa leluasa lantaran didikte dan harus sesuai dengan selera negara yang mengendalikannya.
Ini yang tak boleh terjadi di Indonesia. Setelah pemilu legislatif yang baru saja usai 9 April ini, marilah terus kita gelorakan untuk berpikir dan bersikap merdeka. Jangan sampai ada bangsa lain yang mendikte kita, termasuk dalam menentukan pemimpin.
Siapa pun yang akan maju sebagai calon presiden, tak perlu restu dari negara lain. Rekam jejak sang calon justru jauh lebih penting dan utama.