REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Suproyono
Di tengan hiruk-pikuk soal pemilu, tiba-tiba datang berita memilukan. Seorang anak yang baru berusia enam tahun telah mengalami kekerasan seksual yang luar biasa mengerikan.
Kelu rasanya bibir ini. Hati pun seolah tersayat-sayat begitu membaca berita, bahwa seorang anak manis yang sedang lucu-lucunya harus menerima perlakuan tak senonoh. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana luka hati sang ibu saat mengetahui anaknya mengalami kenyataan seperti itu. Tentulah ia terguncang dan mengutuk sejadi-jadinya pelaku kejahatan itu.
Sungguh sangat biadab apa yang dilakukan oleh dua orang petugas kebersihan bernama Agun Iskandar dan Frizkiawan Amin terhadap sang bocah yang menjadi siswa Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS). Di sekolah elite yang ternyata belum memiliki izin itu, dua pria bejat tersebut melakukan sodomi (semburit) terhadap sang anak.
Peristiwa itu baru terungkap setelah sang ibu melihat keanehan pada anaknya. Setiap hendak kencing, anak tersebut merasakan sakit luar biasa. Bahkan ibu itu pun melihat ada nanah dalam kencing sang anak. Sesudah diajak bicara berdua di kamar berkali-kali, si anak baru mau menceritakan tragedi buruk yang menimpanya.
Kasus ini seketika menjadi bahan pembicaraan luas, terutama di kalangan ibu-ibu. Para ibu di lingkungan perumahan saya juga tak luput ikut mendiskusikan masalah ini. Sasaran kecaman tentu diarahkan pada dua orang tak bermoral sebagai pelaku semburit. Malahan, dengan nada emosi tinggi, seorang ibu meminta agar si pelaku ditembak mati saja.
Saya sempat terhenyak tendengar tuntutan ibu tadi. Dengan berbagai argumen, si ibu tersebut menjelaskan, mengapa pelaku tindak tak senonoh itu layak dihukum mati. Banyak dalih yang diutarakan dan sekilas memang masuk akal. Tak sekadar pelecehan seksual, tindakan ini dianggapnya pula sebagai pemerkosaan. Ternyata, pandangan ibu tadi mendapat dukungan dari para ibu lainnya.
Saya pun lantas berpikir. Andai peristiwa itu menimpa anak saya yang masih berusia enam tahun dan seumpama belum ada hukum yang menaunginya, saya akan menuntut sang pelaku dengan jalan apa pun. Bila perlu, demi anak tercinta, saya siap menyabung nyawa untuk menghadapi pria jahanam tadi.
Itulah gambaran sakit tak terperikan yang dirasakan orang tua terhadap derita anaknya yang mendapat perlakuan biadab dan sadis tersebut. Sulit mengungkapkan dengan kata-kata yang tepat, betapa hancurnya hati seorang ibu melihat kenyataan seperti itu.
Harapan kita selanjutnya adalah proses hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap sang pelaku, termasuk seorang perempuan yang bekerja di JIS dan diduga kuat memberi peluang terjadinya semburit tadi. Menghukum mati begitu saja pada pelaku tentulah bukan keputusan bijak. Oleh karena itu, menerapkan pasal berlapis terhadap sang pelaku barangkali bisa sedikit mengobati luka menganga yang dirasakan keluarga korban dan masyarakat luas.
Jerat pertama yang bisa dikenakan pada Agun dan Frizkiawan tentulah pasal 181 dan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun telah menanti mereka atas perbuatan jahanamnya itu.
Bila tindakan biadab itu juga masuk kategori pemerkosaan, maka di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285 pun ada ketentuan yang bisa dikenakan pada mereka. Ketentuan ini disertai ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Pasal 292 KUHP tentang pelecehan seksual semburit juga bisa menjeratnya. Dalam pasal ini, pelaku bisa dikenakan ancaman hukuman maksimal 5 tahun. Ini belum termasuk jerat pasal-pasal lain di KUHP yang sangat mungkin untuk dijadikan tuntutan.
Jika akumulasi dari tuntutan maksimal ketiga pasal tersebut dilaksanakan --dengan total hukuman penjara menjadi 32 tahun-- rasanya kita layak menaruh hormat pada aparat hamba hukum karena telah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Syukur-syukur bila ini masih bisa ditambah dengan faktor pemberat lainnya, misalnya: dilakukan di sekolah, sudah direncanakan, melibatkan lebih dari satu orang, dilakukan berulang-ulang, dan sebagainya.
Pihak JIS pun tak bisa lepas tangan karena peristiwa ini berlangsung di dalam sekolah. Di lembaga pendidikan semacam kelompok bermain, taman kanak-kanak, dan bahkan sekolah dasar adalah bukan melulu tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar saja. Namun, institusi-institusi itu harus juga menjadi tempat yang memberi rasa aman dan perlindungan bagi sang siswa. Lantaran itu, Kemendikbud sangat perlu memberi sanksi pada pengelola dan sekolah itu.
Mari kelak kita bersama-sama ikut mengawal proses hukum kasus ini. Semoga pula kasus tersebut tak menjadi kado nestapa bagi ibu-ibu dan kita semua yang saat ini sedang memperingati Hari Kartini.