REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Muhammad Subarkah
Sejarah peradaban mencatat, filsuf Yunani, Socrates, selain tak mempercayai sistem demokrasi, ternyata juga ‘membenci’ musik. Bahkan dia pernah memperingatkan buruknya pengaruh musik:’’Bila seorang pria membiarkan musik membuainya kemudian meresapkan lagu-lagu yang manis, lembut, dan syahdu maka ia akan menjadi prajurit (orang) yang lemah!’’
Bagi kalangan umat Islam masa kini stigma bahwa musik sebagai sebuah sajian berbahaya, masih bisa dijumpai. Beberapa tahun silam, dalam sebuah perhelatan penutupan konprensi cendekiawan dan ulama Islam internasional yang diselenggarakan PB NU, tiba-tiba saja sebagian ulama ada yang langsung ke luar ketika grup musik Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib beraksi. Entah karena alasan ada penyanyi perempuan naik ke panggung, atau tidak suka akan musik, tiba-tiba mereka bergegas pergi ketika sajian musik
mulai diperdengarkan.
‘’Ah, mereka mungkin jengah saja, ketika melihat perempuan menyanyi dipanggung. Saya yakin mereka tetap suka musik,’’ kilah Emha Ainun Nadjib saat itu. Dia menanggapi ‘kepergian’ beberapa tokoh delegasi asing itu ke luar dari ruang jamuan makan malam yang digelar di Hotel Borobudur.
Fenomena itulah yang kemudian menyisakan pertanyaan, apakah ada peninggalan musik dalam peradaban Islam? Kalau pun ada, siapa tokohnya? Dan dalam bentuk apa warisan ‘musik’ Islam?
Untuk menjawabnya jelas tak mudah. Apalagi belakangan ini, ketika terjadi konser musik yang dihadapi ribuan orang, kerapkali terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Ajaran Islam memang sangat mengkhawatirkan keadaan ketidaksadaran yang berlebihan (ektase), karena di sanalah ‘rumah setan’ yang sebenarnya. Celakanya, situasi ini seringkali muncul pada diri seseorang akibat mendengarkan musik.
Al Ghazali pun sangat gelisah ketika menyadari hal ini. Dia mengaku betapa musik mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi jiwa seseorang. Akibatnya, kemudian kaum sufi mengambil inisiatif mempergunakan musik sebagai media untuk membebaskan diri dari kerutinan kegiatan spiritual sehari-hari. Cara ini dianggap ampuh untuk mengalihkan pengaruh buruk musik hingga menjadi sebuah cara untuk mencari ‘jalan’ untuk
bertemu Sang Khalik.
Memang Al Ghazali kadang dianggap ‘puritan’ karena tak suka gemerlap dunia. Tapi pada sisi lain dia ternyata seorang teoritis musik yang tangguh. Dalam bukunya yang diterjemahkan Barat menjadi ‘Music and Ectase’ dia mengupas bahwa musik itu punya potensi besar, sehingga sebanding dengan pengaruh Alquran itu sendiri.
Cat Steven yang kini menganti nama menjadi Yusuf Islam pun mengakui betapa musik mempunyai pengaruh dahsyat bagi pendengarnya. Katanya, ’’Awalnya, bila mendengar musik, maka kaki mulai bergoyang. Setelah itu, kemudian getarannya merambat ke seluruh badan. Kalau begitu apakah saat itu akal dan hati akan berfungsi?’’
Dalam hikayat klasik peninggalan masa kekhalifahan Islam, Seribu Satu Malam, tergambarkan betapa besar pengaruh musik dalam peradaban. Bagi banyak orang saat itu musik dianggap layaknya daging dan obat bagi kehidupan. Dan dari sinilah kemudian terlacak pengaruh musik peninggalan peradaban Islam yang ternyata pengaruhnya sedemikian luas, membentang dari wilayah Samarkand hingga kawasan Samudera Atlantik.
Nama teoritis besar yang paling awal harus dicatat adalah Ibnu Misjah (704-714 M). Dia memasukan sebuah aliran musik yang diberi nama Iqa (rythym, dalam bahasa Inggris). Selain itu dia berjasa besar untuk menyambung kembali peninggalan teori musik peninggalan Yunani, seperti teori skala peninggalan Phytagoras. Teori ini oleh Misjah kemudian disunting dengan elemen-elemen musik Persia dan Byzantium.
Namun setelah ‘dibangkitkan’, teori Phytagoras itu terus mengalami perbaikan. Pembaharuan awal dilakuan oleh Al-Mausili (meninggal tahun 850 M). Teori dia terus bertahan sampai meninggalnya seniman termashur yang lain, yakni Al- Isfahani, pada tahun 957 M. Setelah itu timbul skala musik baru, yakni teori Zalzalian dan Khurasian. Teori baru ini sangatlah membantu untuk mengenali kembali sistem lama dari teori musik peninggalan Yunani, seperti teori dari Aristoteles, Ptolemus, Aristemus, Euclid, serta Nimomachus.
Jejak teori itu kemudian berbekas pada karya musik Al-Kindi (tahun 874 M), Al Isfahani dan Ikhwan Al-Safa ( tahun 1000 M). Imbasnya, setelah paruh abad ke-10 M itulah sistem musik Arab, Persia, dan Byzantium menjadi berbeda. Untuk selanjutnya, yakni mulai ada ke-11, ide-ide musik dari Khurasnian tercampur menjadi satu.
Bapak ilmu sosiologi, Ibnu Khaldun, ternyata juga turut memberi andil dalam pengembangan musik. Dia juga giat memberikan ide baru pada pengukuran iqa. Dia menyemangati para vokalis musik dengan mengatakan pelantun lagu adalah mata air utama sajian musik.