REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Stevy Maradona, [email protected]
Saya yakin guru-guru Jakarta International School, yang akan dideportasi karena menyalahi aturan izin kerja, tidak berlangganan koran ini. Kalau ada yang berlangganan, saya ucapkan alhamdulillah. Karena sudah pasti guru macam itu adalah pengajar langka.
Kalau tidak, berarti saya bisa meneruskan cerita ini langsung ke sidang pembaca.Karena pesan saya tadinya ingin ditujukan ke kelompok guru JIS yang bervisa turis alias wisatawan itu.
Begini ceritanya: Awal pekan lalu, usai jam tenggat koran tengah malam, saya bertemu satu reporter Republika yang masih sibuk di kantor. Di mejanya berserakan lembaran fotokopi surat yang ditulis tangan. Saya bertanya apa isi surat itu, si reporter menjawab itu adalah beberapa pengakuan tertulis lima tersangka kasus JIS.
"Pengakuan?" tanya saya dengan heran. "Baca saja Bang," kata si reporter sambil menyodorkan beberapa lembar surat.
Saya membaca tiga surat pengakuan. Ada dua surat yang mudah terbaca. Satu surat sukar dibaca karena tulisan tangannya sangat rapat. Isi surat menceritakan situasi sebelum salah satu tersangka JIS, Azwar, tewas di sela-sela proses penyidikan oleh Polda Metro Jaya.
Bergidik saya membaca surat itu. Saya bisa membayangkan bagaimana situasinya di ruang pemeriksaan. Semua surat menceritakan hal yang sama. Mereka mengaku disiksa dan diancam selama proses pemeriksaan terjadi. Di sela pemeriksaan ada salah satu surat yang menyatakan polisi tertawa mengejek mereka, para tersangka.
Pada akhirnya, salah satu tersangka menulis ia tidak kuat lagi menghadapi 'pemeriksaan' polisi. Ia akhirnya 'mengaku' ikut serta menyodomi murid JIS. Di salah satu surat ada yang mengeluh mereka diperlakukan lebih hina daripada binatang. Mereka heran bagaimana bisa polisi Indonesia menyiksa orang Indonesia sendiri.
Di titik ini saya termenung. Setelah pemeriksaan kelima tersangka itu, Polda Metro Jaya memang mengagendakan pemeriksaan Kepala Sekolah JIS Timothy Carr dan tiga guru 'bule'. Mari berandai-andai, apakah metode pemeriksaan terhadap orang asing akan se'aktif' terhadap para tersangka di atas. Saya yakin tidak. Meski polisi tahu bahwa para guru JIS itu sudah bersalah melanggar aturan visa di Indonesia.
Saya ingin mengajak sidang pembaca agar gusar. Pertama, bagaimana bisa sorotan media cetak atas kasus JIS ini redup. Media nasional yang sangat prihatin sehingga rutin menaikkan isu sodomi anak-anak di JIS di halaman depannya hanya segelintir. Bisa dihitung dengan jari di satu sisi tangan. Apa yang membuat media nasional 'enggan' meliput soal kasus sodomi terhadap anak-anak ini?
Kedua, mari bandingkan 'agresif'-nya polisi mengusut kasus JIS sebelum pernyataan dari Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang akan mendeportasi puluhan guru itu terbit di media massa. Begitu berita deportasi guru JIS ini keluar, polisi langsung bereaksi positif. Mereka meminta imigrasi menunda deportasi. Alasannya, polisi menduga ada guru JIS yang dilaporkan melecehkan muridnya. Sebelum itu, polisi ibarat menunggu saja menindaklanjuti dugaan adanya guru JIS yang terlibat.
Ketiga, saya menduga ada keengganan dari Polda Metro Jaya untuk terlibat lebih dalam di kasus JIS ini. Semoga apa yang saya duga ini salah, sehingga polisi terus bekerja tanpa tendensi apapun. 'Terlibat lebih dalam' menurut saya adalah situasi di mana Polda Metro harus memeriksa intensif sejumlah warga Amerika Serikat. Seandainya itu bukan warga AS, apakah situasinya akan berbeda?
Saya berharap, kasus JIS ini segera terang benderang. Publik wajib tahu siapa saja pelaku kasus keji ini. Apakah memang hanya warga Indonesia atau melibatkan guru asing. Kasus sodomi terhadap anak-anak di bawah umur adalah kejahatan luar biasa. Pembaca yang memiliki anak pasti tahu bagaimana seramnya pelecehan seksual pada anak itu. Begitu mudahnya pelecehan seksual itu terjadi. Kepada para polisi yang menjadi orang tua, mari kita berharap aparat bersikap profesional.