REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Bilal Ramadhan
Pencoblosan untuk memilih presiden baru periode 2014-2019 tinggal menghitung hari. Ketegangan antara pendukung dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden semakin memanas. Kampanye gelap pun bertebaran, terutama di jejaring media sosial.
Ketegangan terakhir terjadi saat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo menginstruksikan siaga 1 untuk para kadernya dan melakukan pengepungan terhadap kantor TV One. Hal ini terkait dengan penayangan acara yang dianggap menyudutkan PDIP dengan isu komunisme.
Massa PDIP pun melakukan penyegelan kantor TV One di Yogyakarta. Selain itu massa juga mendatangi kantor TV One di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur beberapa waktu lalu. PDIP juga akan melaporkan TV One ke Dewan Pers terkait penayangan tanpa korfirmasi dari partai berlambang banteng tersebut.
Aksi kekerasan juga terjadi di kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Jumat (4/7) lalu. Sekelompok orang tak dikenal melakukan pelemparan oli dan memukuli staf di kantor PKS di Karawang, Jawa Barat itu. Aksi kekerasan tersebut diduga disebabkan penyebutan ‘Jokowi Sinting’ yang diucapkan politisi PKS, Fahri Hamzah terkait ide Hari Santri Nusantara pada 1 Muharram.
Pilpres tahun ini memang berbeda jika dibandingkan dengan pilpres sebelumnya. Baru pada Pilpres 2014 yang hanya menampilkan dua pasangan capres dan cawapres. Sehingga masyarakat pun menjadi terbelah dua tanpa ada kelompok massa alternatif.
Pemilihan langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden terjadi pada Pilpres 2004. Dalam Pemilu sebelumnya, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan anggota legislatif di DPR. Anggota legislatif Partai Golkar yang dominan di DPR, membuat Soeharto berkuasa sekitar 32 tahun.
Pada Pilpres 2004, ada enam pasangan capres-cawapres yang mendaftar, meski kemudian hanya lima pasang yang bertarung dalam Pilpres, karena pasangan Abdurrahmah ‘Gus Dur’ Wahid-Marwah Daud Ibrahim dinyatakan tidak lolos.
Dari lima pasang capres-cawapres tersebut yang bertarung di putaran pertama, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) unggul dengan 33 persen suara. Serta Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan 26 persen suara. Dua pasangan ini yang kemudian melanjutkan bertarung di putaran kedua yang kemudian dimenangkan SBY-JK dengan suara sebanyak 60 persen.
Kemudian pada Pilpres 2009, pasangan capres-cawapres yang ikut serta menurun menjadi tiga pasang saja. Kali ini SBY menggandeng Boediono, sedangkan JK maju bersama Wiranto serta Megawati Soekarnoputri yang menggandeng Prabowo.
Sedangkan pada Pilpres 2014, hanya ada dua pasangan capres-cawapres. Sehingga masyarakat pun mengental di dua kubu yang berseberangan ini. Di jejaring media sosial, massa pendukung kedua capres ini saling mengumbar keunggulan ‘jagoan’-nya masing-masing serta menyerang kelemahan capres lawannya.
Baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memiliki keunggulan masing-masing. Ketegasan dan penguasaan bidang ekonomi di pihak Prabowo-Hatta dipercaya akan membuat Indonesia menjadi lebih baik jika dimenangkan pasangan ini. Sedangkan pasangan Jokowi-JK unggul dalam merebut masyarakat akar rumput dan dalam debat terakhir pasangan ini unggul dalam membahas tema masalah lingkungan.
Namun dua capres ini juga memiliki ‘beban sejarah’ masa lalu yang menjadi serangan bagi pendukung lawannya. Yaitu Prabowo dengan tuduhan melakukan penculikan sedangkan Jokowi terperangkap dalam janji untuk mengurus Jakarta dalam Pilgub DKI Jakarta. Baru dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju menjadi Capres yang diusung PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hanura ini.
Ancaman perpecahan semakin mengental saat Wimar Witoelar dan tokoh Katholik Romo Magnis-Suseno yang menyerang pasangan Prabowo-Hatta dan mengasosiasikannya sebagai capres yang didukung Islam garis keras. Bahkan Wimar menyamakan Prabowo-Hatta dan partai pendukungnya dengan tokoh-tokoh yang terkait kasus terorisme yakni Osama Bin Laden dan Abu Bakar Baasyir.
Serangan kepada pasangan Jokowi-JK terkait dugaan bahaya laten komunisme yang ditayangkan TV One, stasiun televisi yang dimiliki Ketua Umum Partai Golkar Aburizal ‘Ical’ Bakrie. Seperti diketahui Golkar merupakan salah satu partai yang mengusung Prabowo-Hatta.
Ketua Majelis Umat Indonesia (MUI), Din Syamsuddin telah menyatakan kekhawatirannya terkait pelaksanaan Pilpres yang mengancam persatuan bangsa ke kotak-kotak kepentingan politik yang bernuansa ideologis. Hal ini semakin diperparah dengan sikap tim sukses dan pendukung sehingga membuat api dalam sekam di tataran akar rumput.
Din juga meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aparat penegak hukum untuk tetap netral dalam Pilpres tahun ini untuk mengurangi ketegangan menjelang pencoblosan. Tim sukses dari kedua capres juga sudah menyuarakan untuk mewujudkan Pilpres yang damai.
Pencoblosan Pilpres di dalam negeri akan dilakukan tinggal menghitung hari. Pastikan anda memilih dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS). Selamat memilih tanpa memengaruhi dan memaksakan pilihan kepada orang lain. Siapa pun yang menang, semoga Presiden dan Wakil Presiden terpilih dapat membuat Indonesia menjadi lebih baik dan semakin disegani di mata internasional.