REPUBLIKA.CO.ID, oleh : Joko Sadewo
Harapan Muslimah yang menjadi anggota Polisi Wanita (Polwan) untuk bisa menjalankan perintah perintah ataupun menjalankan keyakinan agamanya secara penuh, sepertinya masih terhalang kebijakan Polri. Para pimpinan di institusi Polri hingga kini tidak juga memberikan lampu hijau bagi penggunaan jilbab bagi anggotanya.
Tentu ini menjadi pertanyaan bagi umat Islam yang ada di negara ini, ada apa dengan intistusi Polri?. Mungkinkah ada gerakan anti-Islam di institusi Polri?. Mungkinkah ada petinggi Polri yang mempunyai ketakutan yang sangat besar terhadap Islam?.
Pertanyaan-pertanyaan ini bahkan sudah sangat kuat muncul di kalangan umat Islam. Hal ini tentu sangat wajar mengingat sikap Polri yang terkesan mengingkari aspirasi umat Islam di Indonesia. Keinginan rakyat sepertinya dihalangi sejumlah oknum petinggi Polri, yang begitu takut jika Polri menggunakan jilbab.
Tudingan Polri telah membangkang terhadap keinginan umat Islam ini tentu bukan tanpa alasan. Aspirasi soal jilbab ini sudah bergulir sejak lama. Hampir semua organisasi umat Islam, mulai Muhammadiyah, NU, Persis, Forum Umat Islam (FUI), Hidayatullah, dan sebagainya, semuanya sudah menyuarakan desakan izin penggunaan jilbab bagi Polwan.
Dukungan dan desakan izin penggunaan jilbab sudah mereka sampaikan baik melalui media massa, bahkan melalui aksi unjuk rasa. Tidak hanya sekali atau dua kali. Berpuluh-puluh kali mereka menyampaikan aspirasi tersebut.
Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang taklain adalah representasi dari masyarakat Indonesia juga sudah memberikan persetujuan atas anggaran Rp47,566 triliun. Persetujuan anggaran ini tentu bukan hal tanpa makna.
Persetujuan atas anggaran jilbab ini jelas merupakan bentuk persetujuan, bahkan perintah lembaga perwakilan rakyat agar Polri segera merealisasikan izin penggunaan jilbab.
Polri memang tidak secara tegas menolak memberikan izin bagi Polwan menggunakan jilbab. Keputusan Polri yang menganulir izin penggunaan jilbab sejak Desember 2013 dan menggantung kebijakan penggunaan jilbab benar-benar menguras kesabaran umat Islam. Sikap Polri ini memunculkan kecurigaan kalau Polri menghalangi penggunaan jilbab bagi anggotanya.
Bahkan janji pengkajian penggunaan jilbab takjuga selesai dilakukan. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Sompie pun hanya memberi jawaban diplomatis 'masih digodok tim' ketika ditanya kapan kajian jilbab selesai dilakukan Polri.
Tentu umat Islam akan mempertanyakan apakah pengkajian jilbab ini serius dilakukan? Ataukah pengkajian jilbab ini sekadar alasan untuk terus menggantung kebijakan jilbab?.
Kecurigaan ini sangat wajar, sebab Umat Islam sudah memiliki banyak referensi atas penggunaan jilbab bagi institusi penegak hukum. Referensi yang paling dekat adalah penggunaan jilbab Polwan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Sudah terbukti di NAD bahwa penggunaan jilbab Polwan ternyata tidak mengganggu kinerja dan tidak membuat Polwan terbelah. Dan sudah sangat jelas, kalau aturan jilbab di Aceh ini sebenarnya adalah hasil kajian Polri sendiri. Lalu kenapa Polri meragukan hasil kajiannya sendiri, sehingga perlu waktu berbulan-bulan lagi untuk mengkajinya lagi?.
Jika Polri terus menghalangi kehendak umat Islam dengan beragam alasan, pasti akan memunculkan persoalan besar. Saat ini, umat Islam masih sabar menunggu Polri segera menyelesaikan kajian dan merealisasikan kebijakan izin jilbab.
Tapi kalau kajian jilbab hanya dijadikan intrumen untuk menghalangi kebijakan penggunaan jilbab Polwan, maka yakinlah umat Islam akan bergerak. Umat Islam akan berbaris di satu barisan untuk memperjuangkan hak saudaranya muslimahnya.
Polri tidak bisa lagi mengatakan kalau mau menggunakan jilbab jangan menjadi Polwan. Sebab, rakyat yang direpresentasikan oleh DPR sudah meminta Polri mengizinkan anggotanya menggunakan jilbab.
Jadi rakyatlah yang berhak bicara kalau tidak mengizinkan Polwan menggunakan jilbab, silakan keluar dari institusi Polri. Sebab, rakyat adalah pemilik sah institusi Polri.