REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hazliansyah
Situasi politik yang terus memanas mewarnai pesta demokrasi kali ini. Pesta yang sejatinya identik dengan kesenangan dan kebahagiaan malah tidak lagi tergambarkan.
Dimulai saat memasuki masa kampanye. Saat itu kampanye hitam yang bergulir tidak sedikit yang dilumat mentah-mentah masyarakat. Terlebih di sosial media yang rentangnya begitu luas. Ranah yang rentan dengan manipulasi dan sumber yang sepenuhnya tidak dapat dipercaya.
Kondisi itu terus berjalan hingga akhirnya masuk pada masa tenang dan hari pemungutan suara.
Banyak yang memperkirakan situasi politik akan mereda dengan sendirinya usai pencoblosan pada 9 Juli silam. Terlebih banyak faktor yang dinilai akan meredakan tensi pemilu. Salah satunya adalah bulan Ramadhan dan hari raya lebaran yang semakin dekat.
Namun faktanya tidak demikian. Isu panas justru berlanjut dengan menempatkan lembaga survei sebagai aktornya. Mereka menggulirkan "bola panas" dengan produknya hitung cepat.
Sebagian lembaga survei menyatakan pasangan nomor urut 1 meraih suara terbanyak dan sebagian lagi menasbihkan pasangan nomor urut 2 sebagai juara. Hal ini kemudian dijadikan batu pijakan para timses capres/cawapres untuk mendeklarasikan kemenangan.
Hitung cepat memang bukan hal baru dalam proses demokrasi di Indonesia. Publik seharusnya sudah akrab dengan metode verifikasi hasil pemilihan umum yang dilakukan dengan menghitung persentase hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel ini. Hitung cepat lazim dilakukan oleh lembaga atau individu yang memiliki kepentingan terhadap proses dan hasil pemilu.
Namun menjadi masalah ketika lembaga survei menyatakan bahwa hasil mereka-lah yang paling benar dan akurat, bahkan melebihi hasil KPU sebagai lembaga indepen yang ditunjuk negara untuk menyelenggerakan Pemilu.
Itulah yang dinyatakan Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Ia menyatakan kalau hasil hitungan resmi KPU tidak sesuai dengan hasil survei yang dilakukannya, maka KPU yang salah. "Dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata dia pada Kamis (10/7).
Dalam hasil surveinya, Indikator Politik Indonesia menunjukkan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan 52,95 persen, sementara Prabowo-Hatta hanya mendapat 47,05 persen.
Tidak pelak komentar ini menjadi polemik baru yang mewarnai proses demokrasi Pilpres 2014. Ada beberapa hal yang akhirnya memberi efek buruk dari pernyataan Burhan.
Pertama, pernyataan ini dapat menimbulkan kegaduhan. Terutama di akar rumput yang bisa saja terbentuk pola pikir demikian, bahwa kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang dirilis Indikator Politik Indonesia bahwa telah terjadi kesalahan oleh KPU.
Padahal sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta semua pihak untuk bisa menahan diri agar tidak menimbulkan ketegangan di masa rawan seperti sekarang ini. Sehingga tidak terjadi bentrokan maupun kekerasan horizontal.
Ia juga meminta meminta pemimpin dan elite politik bisa memimpin pendukung politiknya menahan diri sampai KPU mengeluarkan hasil pemilihan presiden yang sebenarnya. Permintaan presiden itu merujuk pernyataan KPU yang meminta calon presiden dan calon wakil presiden tidak mengklaim kemenangan dari hasil hitung cepat lembaga survei.
Kedua, secara tidak langsung pernyataan Burhanuddin yang juga peneliti senior di Lembaga Survei Indonesia ini meragukan kredibilitas KPU dalam menyelenggarakan Pemilu. Kalaupun ia menilai adanya kecurangan dalam proses Pemilu oleh KPU, hal itu harus disampaikan dengan bukti, bukan justru menyatakannya di awal.
Karena jika tidak, pernyataan Burhanuddin dapat membuat kepercayaan masyarakat terhadap KPU akan meluntur. Padahal secara akademik quick count
atau hitung cepat hanyalah sampel dan validitasnya tidak 100 persen karena ada dua faktor penting yang menentukan validitas Quick Count.
Dua faktor itu yaitu faktor penentuan sampel TPS yang harus mempertimbangkan keragaman segmentasi pemilih dan keragaman afiliasi politik pemilih dan kejujuran entri data suara dari surveiyor di TPS dan kejujuran pengolah data di pusat data Quick count.
Sebagai contoh adalah data kekeliruan Quick Count saat pilkada di Jawa Timur tahun 2008 dan pilkada di Bali tahun 2013. Selain itu juga pada Pileg lalu, dimana banyak hasil hitung cepat yang memperkirakan PDI Perjuangan menang telak bahkan tembus 30 persen. Namun hasilnya tidak demikian, karena rekapitulasi manual KPU membuktikan PDI Perjuangan hanya memperoleh 18,95 persen.
Disinilah poin pentingnya. Bahwa hasil hitung cepat tidak bisa dijadikan pembenaran dalam satu proses demokrasi. Terlebih melampaui kebenaran hasil dari penyelenggara itu sendiri.
Ketiga, pernyataan Burhanuddin ini dinilai mencederai posisi akademisi itu sendiri. Sejatinya sebagai seorang akademisi seharusnya Burhan dapat memberi ruang dalam dirinya atas kemungkinan kesalahan yang dapat dilakukannya.
Dalam pernyataan resminya, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Laode M Kamaluddin bahkan menilai pernyataan Burhanuddin tersebut bentuk keberpihakan dalam sebuah metode kuantitatif riset. Dalam metode riset kuantitatf, itu dikategorikan bias statement dari pelaku peneliti.
Burhanuddin sendiri sampai saat ini belum mengeluarkan klarifikasinya terkait hal tersebut, meski telah menjadi polemik dalam empat hari belakangan.
Hanya, dalam kicauan di akun twitternya Burhan menyatakan akan menjawabnya dalam Majalah Tempo edisi pekan depan.
"Wah rame ya. Daripada saya jawab satu persatu, saya sudah siapkan kolom dua halaman dalam Majalah Tempo edisi pekan depan utk menjawabnya :)," tulis Burhan lewat akun twitternya @BurhanMuhtadi.
Selagi menunggu apa yang akan dituliskan Burhan, selagi menunggu apa jawaban Burhan atas pernyataanya yang dikategorikan bias statement dari peneliti, sudah sebaiknya masyarakat dapat mencerna lebih teliti segala informasi yang ada saat ini.
Sudah sepatutnya pula masyarakat dan dua kubu calon presiden dan wakil presiden memberi apresiasi dan kepercayaan penuh kepada KPU dalam melaksanakan Pemilu.
Karena sejatinya hitung cepat atau quick count hanyalah data pembanding dan validitasnya tidak 100 persen. Biarkanlah masyarakat merasakan pesta demokrasi yang sebenarnya.
Karena hitung cepat bukanlah Tuhan.